Kamis, 24 Oktober 2013

Psikosastra (analisis Loveintrique)

BAB I
PENDAHULUAN
  ¯   LATAR BELAKANG
Pada hakitanya sebuah karya sastra adalah replika kehidupan nyata. Walaupun berbentuk fiksi, misalnya cerpen, novel, dan drama, persoalan yang disodorkan oleh pengarang tak terlepas dari pengalaman kehidupan nyata sehari-hari. Hanya saja dalam penyampaiannya, pengarang sering mengemasnya dengan gaya yang berbeda-beda dan syarat pesan moral bagi kehidupan manusia.
Menurut Iswanto dalam Jabrohim (2003:59), “Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya.” Pendapat tersebut mengandung implikasi bahwa karya sastra (terutama cerpen, novel, dan drama) dapat menjadi potret kehidupan melalui tokoh-tokoh ceritanya.
Meskipun demikian, karya sastra yang diciptakan pengarang kadang-kadang mengandung subjektivitas yang tinggi. Seperti dikemukakan oleh Siswantoro (2005:2) berikut ini.
Imajinasi yang tertuang dalam karya sastra, meski dibalut dalam semangat kreativitas, tidak luput dari selera dan kecenderungan subjektif, aspirasi, dan opini personal ketika merespons objek di luar dirinya, serta muatan-muatan khas individualistik yang melekat pada diri penulisnya sehingga ekspresi karya bekerja atas dasar kekuatan intuisi dan khayal, selain kekuatan menyerap realitas kehidupan. Itulah sebabnya di dalam sebuah cerita, cerpen atau novel, seorang pengarang sering mengangkat fenomena yang terjadi di masyarakat. Dengan harapan para pembaca dapat mengambil hikmah dari fenomena tersebut.
Pada dasarnya isi sebuah karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Sangat beragam perilaku manusia yang bisa dimuat dalam cerita. Kadang-kadang hal ini terjadi perulangan jika diamati secara cermat. Pola atau keterulangan inilah yang ditangkap sebagai fenomena dan seterusnya diklasifikasikan ke dalam kategori tertentu seperti gejala kejiwaan, sosial, dan masyarakat. Sebagai misal perilaku yang berhubungan gejala kejiwaan yaitu fenomena rasa bersalah atau kebencian (hate). Pemahaman kalsifikasi emosi ini dapat dilakukan dengan mengadakan pendekatan psikologis.
Menurut Semi (1993:79) bahwa pendekatan psikologis menekankan analisis terhadap karya sastra dari segi intrinsik, khususnya pada penokohan atau perwatakannya. Penekanan ini dipentingkan, sebab tokoh ceritalah yang banyak mengalami gejala kejiwaan.
Secara kategori, sastra berbeda dengan psikologi, sebab sebagaimana sudah kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, esai yang diklasifikasikan ke dalam seni (art) sedang psikologi merujuk kepada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Meski berbeda, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Bicara tentang manusia, psikologi jelas terlibat erat, karena psikologi mempelajari perilaku. Perilaku manusia tidak lepas dari aspek kehidupan yang membungkusnya dan mewarnai perilakunya. Hal ini dinyatakan oleh Teeuw (1991:62-64), “Konvensi sastra merupakan alat yang mengarahkan kemungkinan pemberian makna yang sesuai pada sebuah karya sastra.”
Novel atau cerpen sebagai bagian bentuk sastra, merupakan jagad realita di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh). Realita sosial, realita psikologis, realita religius merupakan terma-terma yang sering kita dengar ketika seseorang menyoal novel sebagai realita kehidupan. Secara spesifik realita psikologis sebagai misal, adalah kehadiran fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama ketika merespons atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan. Sebagai contoh, penampakan gejala klasifikasi emosi dapat penulis temui di dalam novel Lovintrique oleh Wetry Febrina. Tokoh utama “Stella dan Shelly” adalah dua orang remaja, yang serupa tapi tak sama, sama-sama cantik, pintar dan menarik.
Novel Lovintrique karangan Wetry Febrina sangat menarik bila dikaji dengan pendekatan psikologis, khususnya dalam analisis klasifikasi emosi. Novel ini mempunyai kelebihan di antaranya ialah dua tokoh utama cerita ternyata mampu dan tegar menghadapi berbagai fenomena hidup meskipun di dalamnya banyak terjadi konflik. Di lain pihak, melalui tokoh cerita pengarang ingin menyampaikan pesan moral kepada pembaca bahwa pentingnya orang tua memberikan pendidikan yang baik kepada anak. apa yang diperbuat oleh sang tokoh cerita semata-mata akibat dari rasa frustrasi dan kecewa yang berat dengan kedua orang tuanya.
Lovintrique adalah novel perdana Wetry Febrina, anak sulung dari enam bersaudara yang lahir tepat dengan hari valentine. Penggemar Dasboard Confessional dan Red Hot Chilli Peppers ini sudah hobi menulis sejak SMP. Walau sejumlah cerpennya sudah pernah nongol di beberapa majalah dan tabloid, ia tetap merasa belum bisa disebut penulis sebelum novelnya terbit.
Novel ini sangat menarik untuk di baca oleh remaja-remaja masa kini. Banyaknya intrik dalam cerita  menjadi kelebihan yang dimilki oleh novel “Lovintrique”. Dan pelajaran dalam intrik novel ini bisa menjadi pelajaraan bagi kita. Banyak pelajaran yang kita dapat ketika membaca novel karangan Wetry Febrina. Orangtua adalah panutan bagi kita. Orangtua juga berperan penting dalam pertumbuhan kita. Sehingga, orangtua seharusnya bisa menciptakan suasana harmonis dalam keluarganya guna mencapai hidup rukun dan bahagia.






  ¯   LANDASAN TEORI
Klasifikasi Emosi
            Kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan kerap kali dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotions). Situasi yang membangkitkan perasaan-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan yang ditimbulkannya dan mengakibatkan meningkat ketegangan (Krech, 1974:471). Ciri khas yang menandai perasaan benci ialah timbulnya nafsu atau keinginan untuk menghancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian.
1)      Konsep Rasa Bersalah
Bisa disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi impuls dan standar moral (impuls expression versus moral standards)
2)      Rasa Bersalah yang Dipendam
Dalam kasus rasa bersalah,seseorang cenderung merasa bersalah dengan cara memendam dalam dirinya sendiri, memeng ia biasanya bersikap baik, tetapi ia seorang yang buruk.
3)      Menghukum diri sendiri
Perasaan bersalah yang paling menggangu adalah sebagaimana terdapat dalam sikap menghukum diri sendiri, si individu terlihat sebagai sumber dari sikap bersalah.
4)      Rasa Malu
Timbulnya rasa malu tanpa terkait rasa bersalah
5)      Kesedihan (Dukacita)
Berhubungan dengan kehilangan sesuatu yang penting atau bernilai.
6)      Kebencian
Berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu dan iri hati.
7)      Cinta
Perasaan cinta bervariasi dalam beberapa bentuk; intensitas pengalaman pun memiliki rentang dari yang terlembut sampai kepada yang amat mendalam; derajat sayang yang paling tenang sampai pada gelora nafsu yang kasar dan agitatif.

  ¯   TUJUAN
1.      Inggin mengetahui psikologi sastra yang terdapat dalam sebuah karya sastra berbentuk novel, ditinjau dari metode, teori dan contoh kasus.
2.      Mendeskripsikan secara lengkap bentuk klasifikasi emosi ditinjau dari novel Lovintrique.
3.      Menggambarkan kehidupan dalam novel ini melalui analisis klasifikasi emosi.
  ¯   MANFAAT
1.      Manfaat keilmuan dalam kasus ini bersifat confirmatory (membenarkan) bahwa ada hubungan antara psikologi dan sastra sebagai teori yang dilontarkan oleh pakar-pakar sastra.
2.      Memperoleh deskripsi bentuk klasifikasi emosi ditinjau dari segi novel
3.      Menambah wawasan penulis mengenai psikologi dan sastra yang tepat dalam sebuah proses berbahasa pada novel
4.      Meningkatkan minat dan apresiasi bagi para pembelajar bahasa Indonesia
5.      Menjadi referensi bagi penulis selanjutnya yang akan melakukan penelitian pada novel





BAB II
PEMBAHASAN
  ¯   SINOPSIS
BAHAGIA DALAM KEDAMAIAN HIDUP
Ø  Judul Novel : Lovintrique
Ø  Nama Pengarang : Wetry Febriana
Ø  Kota Terbit : Jl. Haji Montong No. 57 Ciganjur Jagakarsa
Jakarta Selatan 12630
Tlep. ( Hunting ) : (0271) 788 83030; Ext.: 213, 214, 216
Faks. (0271) 727 0996
Situs web : www.mediakita.com
Ø  Jumlah Halaman : viii+150 halaman
Kebahagiaan, manusia yang hidup di dunia ini pasti ingin hidupnya bahagia. Tidak ada seorangpun di dunia ini menginginkan hidup sengsara selama hidupnya. Oleh karena itu demi mencapai hidup bahagia, kita harus berusaha dan terus berusaha untuk menjalani hidup ini dengan sebaik mungkin. Dengan berusa semaksimal kita pasti kita dapat merasakan bahagianya hidup ini.
Seperti yang dikisahkan dalam novel karangan Wetry Febrina ini, dua anak manusia yang bernama Stella dan Shally. Mereka teman sebangku tapi hubungan mereka mirip kucing dan tikus. Mereka memiliki sifat yang berbeda jauh . Sama-sama cantik, sama-sama pintar. Dan sama-sama ingin menjalani hidup yang bahagia. Stella, seorang selebritis yang sedang naik daun, selalu sibuk dengan pekerjaannya yang sebenarnya menjadi selebritis bukan keinginannya. Dia kehilangan masa remajanya, karena kesibukannya. Stella yang lahir dari perselingkuhan mamanya. Papa Stella meninggal, Stella di jadikan ladang emas oleh mamanya, Untuk menghidupi keluarganya. Stella merasa tersiksa dengan ini semua.
Sedangkan Shally, orang yang cerdas tapi jutek abis, dan tidak suka bersosialisasi, ternyata memendam alasan khusus untuk selalu menjadi juara kelas. Ambisi Shally untuk menjadi juara kelas bukan tanpa alasan. Shally depresi berat karena kedua orang tuanya mau bercerai, mama Shally seorang pecandu narkoba, papa Shally seorang selebritis. Setelah perselingkuhan papa Shally dengan seorang selebritis pendatang baru mencuat ke permukaan, keluarga Shally semakin kacau. Itu lah penyebabnya kenapa Shally begitu membenci Stella karena bagi Shally, artis tak lebih dari wanita murahan.
Hubungan Stella dan Shally semakin meruncing karena Jason, anak indo-aussie yang membuat mereka jatuh hati. Jason lebih menyukai Stella daripada Shally, tetapi Stella menolak Jason karena iba kepada Shally. Dia ingin Shally yang mendapatkan Jason, terlebih lagi mama Shally koma karena mencoba membunuh diri karena tidak tahan dengan kelakuan suaminya. Stella lebih memilih Robby lawan mainnya dalam sebuah sinetron, dengan tujuan Jason berpaling dari Stella. Stella bertekat untuk memperbaiki hubungannya dengan Shally, dengan mendonorkan darahnya untuk mama Shally. Karena pengorbanan Stella, Shally pun luluh. Dan pada akhirnya mereka bersahabat. Orangtua Shally rujuk, dan sekarang Stella tidak dituntut untuk berkarya di dunia hiburan. Mama Stella lah yang kini menjadi selebritis. Dan kebahagiaan menjadi milik mereka.
  ¯   UNSUR INTRINSIK
       v   TEMA            
Percintaan, Perjuangan hidup untuk mengapai kebahagiaan.
       v   TOKOH DAN PENOKOHAN
Penokohan pada novel ini digambarkan oleh pengarang denagn sangat jelas. Melalui cirri-ciri fisik maupun penggambaran sifat. Sifat tokoh yang digunakan adalah Protagonis dan Tritagonis.
Ø  Stella Diatmojo                 : seorang gadis yang baik hati, pintar, berani
Ø  Shally        Budianta         : seorang gadis cerdas, galak, jutek, tidak suka bersosialisasi
Ø  Mama Stella (Diana)         : seorang ibu yang ambisisus, menjadikan anaknya ladang uang baginya
Ø  Jason Jennings                   : kakak tiri dari Stella, pendendam
Ø  Robby                               : seorang pria baik, setia, tulus, rela berkorban, sangat mencintai Stella
Ø  Marco Budianta                : Ayah dari Shally, seorang aktor yang terlibat perselingkuhan, namun akhirnya ia bertanggung jawab atas perbuatannya.
       v   ALUR                         :
Maju mundur (flash back) kaerena menceritakan kejadian sekarang kemudian menceritakan kejadian masa yang telah terlewati, kemudian menceritakan kembali kejadian sekarang.
       v   LATAR
Ø  TEMPAT        : Rumah, Kompleks Perunahan, Sekolah, Perkotaan, Rumah sakit, tempat Syuting, Restoran Padang Sederhana Baru, Ruang Guru, Ruang Sidang, Mall
Ø  WAKTU         : pagi, malam, 4.30am, 5.18 am, 6.45 pm, 10.45 am, 12.20 pm, 6.00 pm, 1.00 pm, 2.45 pm, 10.15 pm, 11.10 pm
Ø  SUASANA     : bahagia, sedih, marah, cemburu, panik, hujan, mendung, murung,
       v   SUDUT PANDANG
Novel ini menggunakan Sudut pandang Stella dan Shally, yaitu sudut pandang orang pertama, sudut pandang ini biasanya menggunakan kata ganti aku atau saya. Dalam hal ini pengarang seakan-akan terlibat dalam cerita dan bertindak sebagai tokoh cerita. 
       v   GAYA BAHASA
Bahasa yang digunakan tidak terlalu berbelit-belit mengikuti perkembangan zaman sekarang(modern) dan sesuai dengan kondisi remaj sekarang, sehingga, memudahkan kita untuk memahami isi novel ini. 
Ø  Kata Ganti Orang
Kata-kata ganti orang yang digunakan dalam Lovintrique adalah gue, loe, saya, aku, kamu, ia, dia, kita.
o   Gue-lo digunakan antara tokoh-tokoh remaja yang saling mengenal.
o   Saya digunakan dalam dialog antara tokoh-tokoh remaja dalam situasi formal dan dialog antara tokoh remaja dengan tokoh dewasa selain orang tua dalam situasi apa pun. Remaja menggunakan nama sendiri sebagai kata ganti orang pertama tunggal bila berbicara dengan orang tuanya.
o   Aku digunakan oleh tokoh utama bila sedang merenung atau berbicara dalam hati pada dirinya sendiri. 
o   Kamu digunakan oleh orang tua terhadap anaknya.
o   Tidak ada konsistensi dalam penggunaan dia dan ia, baik dalam dialog maupun narasi.
o   Kita digunakan sebagai kata ganti orang pertama jamak dan kata ganti orang pertama sekaligus kedua jamak.
Pilihan Kata
Kata-kata dalam dialog-dialog Lovintrique juga banyak yang menggunakan kata-kata baku, termasuk dalam dialog antara tokoh-tokoh remaja dalam situasi nonformal.
Kata-kata tidak baku juga banayak dalam narasi ataupun dialog Lovintrique.
Terdapat banyak ungkapan fatis, baik dalam dialog maupun narasi Lovintrique seperti deh, tuh, nih, dong, lho, kan, dan sih.
Pengunaan Bahasa Asing
Novel ini juga menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris (hampir semuanya dicetak miring). Banyak istilah-istilah lain yang menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris.
Simile
Simile merupakan perbandingan yang bersifat eksplisit, maksudnya ialah bahwa ia lansung mengatakan sesuatu sama dengan hal lain. Dalam hal ini bahasa yang membandingkan mengunakan kata-kata perbandingan, terlihat dalam ketipan berikut:
Seorang bintang tanpa penggemar itu ibarat malam tanpa bintang. Kegelapan dan kesepian tanpa cahaya (hlm 4 pargraf dua)
Mataku menerawang, percayalah, meski di luar aku kelihatan tegar, sebenarnya hatiku sangat gamang, seperti seseorang yang sedang meniti tali di awang-awang. (hlm 111 paragraf lima)
Hiperbola
Adalah gaya bahasa yang mangandung ungkapan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal Contohnya:
Seseorang yang untuk pertama kalinya, bisa membuat jantungku berdetak ribut, hanya karena melihat punggungnya dikelas. (hlm 33 prgraf pertama).
Pelipisku berdenyut, Sialan! Cowok berkacamata itu membuatku hilang ingatan. Dan, mendadak, soal-soal ulangan fisika di papan tulis jadi sangat sulit dipecahkan. (hlm 34 prgraf satu).
       v   AMANAT
Ø  Jangan pernah dendam kepada seseorang. karena hal itu, selain dapat merugikan diri sendiri, juga dapat merugikan orang lain.
Ø  Kekuatan cinta, dapat mengubah segalanya. Seperti mengubah sesuatu hal yang paling buruk menjadi sesuatu yang dapat dimengerti dan disukai banyak orang.
Ø  Dalam menghadapi masalah, tidak boleh putus asa, apalagi melakukan sesuatu yang dapat merugikan diri sendiri, atau orang lain
Ø  Setiap ada kemauan, pasti ada jalan.
Ø  Pilihan itu ada, namun tergantung siap atau tidak kita menanggung resiko dari pilihan yang kita itu.



  ¯   ANALISIS
v  Konsep Rasa Bersalah
Ø  Sekarang aku sedikit menyesal telah menanyakan hal itu, karena wajah Jason mendadak meberubah mendung dan murung. Sepertinya aku sudah membuatnya menginggat sesuatu yang pahit. (Hlm 45 paragraf lima)
Saat Itu Stella sedang bercakap-cakap dengan Jason. Stella bertanya tentang sesuatu yang bersifat pribadi, dan Jasonpun tidak berkeberatan menjawabnya. Namun karena pertanyaan Stella tersebut, Jason menceritakan kisah sedih yang dialami dirinya dan mamanya, hingga membuat Jason kembali mengingat masa lalunya yang suram, hal itu tergambar jelas di raut wajahnya. Disana Stella merasa sangat bersalah karena sudah bertanya hal yang membuat Jason bersedih, seharusnya ia tidak bertanya yang aneh-aneh.  Akhirnya Stella memutuskan untuk tidak bertanya lagi dan mengalihkan pada hal yang lain.
Stella menangkap situasi rasa bersalah yang ia alami, ia sadar apa yang harus dilakukannya dan ia sungguh memahami bahwa ia telah melanggar suatu keharusan

v  Rasa Bersalah yang dipendam
Ø  Stella, sejujurnya, bukan loe yang gue benci, tapi orang-orang yang berfrofesi seperti lo...,”desis Shally pelan. (hlm 104 paragraf tiga)
Setelah Shally mengamati lebih seksama tentang Stella dari kejadian di Rumah Sakit. Maka, Shally memiliki perasaan bersalah yang dipendam. Ternyata tidak semua artis itu  kotor dan munafik. Meskipun sebagian benar tapi Stella tidak seperti itu. Namun disini Shally belum sepenuhnya bersikap baik, karena setelah bercerita tentang masa kanak-kanaknya, Shally kembali bersikap buruk kepada Stella, sehingga rasa bersalahnya terus dipendam.
Ø  Aku membeku. Seolah-olah seseorang baru saja menyiram kepalaku dengan seember es, mendadak tubuhku mati rasa. “Maksud mama apa, sih?”
AKU TAK MEMPERCAYAI TELINGAKU. “Dia apa? Masak sih?” tanyaku lemah. Mendadak, aku digeleyuti berton-ton perasaan bersalah. (hal 131 paragraf lima dan tujuh)
Ketika mendengar dari mamanya bahwa Stellalah yang telah mendonorkan darah untuk mamanya. Shally merasa sangat bersalah, rasa bersalahnya yang dahulu di pendam kini semakin menjadi. Rasa bersalah yang dipendam membuatnya ingin menghukum diri sendiri.

Ø  Lalu kenapa Pa?” tanyaku terisak. “Kenapa Papa nggak pernah cerita?” Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Stella..., ya, Tuhan. (hlm 132 pargraf pertama dan ketiga)
Shally sangat menyesal dengan segala hal yang telah ia perbuat kepada Stella, selama ini Shally selalu berbuat Jahat kepada Stella hanya karena profesi Stella sama dengan wanita simpanan papanya. Akhirnya, demi menebus rasa bersalah yang dipendamnya selama ini Shally akan berbicara di persidangan untuk membantu Stella.

v  Menghukum diri sendiri
Ø  “Gue frustasi,” keluh Robby seraya kembali mengisap lintingan ganjanya. “Orangtua gue cerai. Bokap gue balik ke Belanda. Nyokap gue dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Sekolah gue ancur karena gue bodoh, disleksia pula. (hlm 76 paragraf tiga)
Perasaan bersalah yang dimiliki Robby atas kehidupannya, membuat Robby menghukum diri sendiri dengan terjun kedalam hal-hal negatif. Ia merasa tidak berguna dan tidak memiliki cahaya dalam hidupnya.
Ø  Kalau lo mau nerima gue, gue janji akan berubah. Gue akan berhenti dugem, berhenti ngeganja, berhenti melakukan apapun yang elo nggak suka!" Katanya lagi.
Jika Stella menerima cinta Robby maka Robby akan menghukum dirinya sendiri dengan tidak melakukan segala hal yang Stella tidak suka. Robby rela tidak melakukan hal yang biasanya ia lakukan demi cintanya kepada Stella.

v  Rasa Malu
Ø  “Kamu memeng benar-benar memalukan Stella,” Mama berdecak kesal. “Mama benar-benar kehilangan muka di depan Marco! ( hlm 99 pargraf tiga)
Saat itu Mama Stella sangat malu di depan Marco, mamanya merasa Stella sudah keterlaluan. Stella hanya sekedar kolega di dunia seni peran  tidak pantas berkata hal yang menyinggung perasaan terhadap orang yang memiliki pengaruh besar dalam dunia seni peran, begitu pikir mamanya
Ø  Ya ampun, Stella. Mama malu...! Mama malu, nak!: teriak mamaku histeris. “Mau ditaruh dimana mukaku ini, Mas hendar? Aduh, Stella....Mama bilang juga apa?jauhi Robby! Eh malah kamu pake pacaran segala sama dia. Lihat sendiri, kan, akibatnya?!” (hlm 125 paragraf dua dan empat)
Sebagai Ibu sekaligus manager Stella, Diana sangat tidak tenang. Anaknya yang merupakan artis terkenal diduga terlibat kasus narkoba. Berita dimana-mana membuat mama Stella panik, ia merasa malu luar biasa, karena itu merupakan ancaman sosial baginya, ia tidak mau pamor Stella menurun. Mama Stella memandang bahwa apa yang telah terjadi pada anaknya akibat pengaruh pergaulan dengan anak yang kelas sosialnya sama.
v  Kesedihan
Ø  KITA BERCERAI SAJA!” samar-samar kudengar papaku berteriak. Membuatku mendadak menggigil pilu. Segera saja aku berlari menerjang kamar tidur orangtuaku, mengamuk!
Mengapa? AKU TAK KEBERATAN KALIAN BERTENGKAR TIAP HARI, ASAL JANGAN BERCERAI! Tolong, Pa, Ma. Aku ngak mau jadi anak yatim piatu!” teriakku setengah meratap, dengan pandangan kabur oleh air mata. (hal 39, paragraf satu dua tiga)
Pada saat itu kedua orang tua Shally sedang bertengkar, sebagai seorang anak tunggal Shally merasa sangat sedih, iaa tidak mau kehilangan salah satu dari kedua orang tuanya. Shally memohon kepada orang tuanya agar tidak bercerai, setiap hari bertengkar saja sudah membuatnya sangat sedih, apalagi bercerai, itu akan menghancurkannya.

Ø  Tetesan-tetesan hangat menetes di bahuku saat tubuh mama berguncang menahan isak. (hlm 107 paragraf enam)
Shally dan mamanya berpelukan dengan kesedihan yang sama mereka sangat berharap papanya bisa seperti dahulu. Tapi kenyataan tidak bisa dibohongi dia sangat sedih karena tidak bisa berkumpul seperti dahulu. Dia berharap papanya akan kembali. Andai dia seperti Stella pasti bisa bertemu dengan papanya setiap hari. Karena sangat sedih mama Shelly melampiaskannya pada ganja. Mereka berdua berharap bisa bahagia bersama papanya sampai akhirnya mamanya menangis.
Ø  Mataku menerawang, percayalah, meski di luar aku kelihatan tegar, sebenarnya hatiku sangat gamang, seperti seseorang yang sedang meniti tali di awang-awang. (hlm 111 paragraf lima)
Saat itu Shally sedang bersedih karena kondisi mamanya memburuk namun ia tetap berusaha tegar dihadapan papanya.
Ia juga tak mau melihat papanya bertambah sedih jika melihatnya juga tengah bersedih.

Ø   “Ibu saya sedang koma di rumah sakit.” Beliau kekurangan darah, “ucap Shally terbata. “Rumah sakit tak punya lagi persediaan golongan darah AB resus positif. Kalau tidak secepatnya ditransfusi, mama saya... mama saya...” (hlm 112 paragraf tiga)
Shally sangat berharap bisa mendapatkan donor darah yang sama dengan mamanya. Maka dari itu dia menyiarkan permohonan tersebut malalui media TV. Tapi  kalimatnya terputus karena Shally terisak di depan kamer, ia tidak dapat membendung rasa sedihnya sehingga sampai menangis dan tidak melanjutkan kata-katanya.

Ø  Aku menopang kepalaku. Terlalu sedih untuk menangis. Aku leleh menangis. Aku lelah diinterogasi. Aku lelah menghadapi semua ini. (hlm 124 pararaf tiga)
Stella sedang berada di kantor polisi. Intensitas rasa sedih yang sangat mendalam membuat Stella tidak mampu untu menangis lagi. Ia berat menerima kenyataan itu, karena ia harus bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak ia lakukan.

v  Kebencian
Ø  AKU BENCI PAPA! PAPA YANG MEMBUNUH MAMA, KAN?”
(hlm 84 paragraf kedua)
Pada saat itu Shally sangat marah ketika melihat mamanya nya tak berdaya, sementara papanya persis berada di depan sang mama dengan berlumuran darah. Seketika Shally sangat benci papanya ia berteriak-teriak pada papanya sebagai sasaran kebenciannya.

Ø  Kalau mama mati, aku akan bunuh diri. Shit! aku benci papa! Aku dendam pada papa! Gelap di  sekelilingku. Tubuhku mendadak dingin dan beku. (hlm 85 paragraf pertama)
Shally berada diatas kebencian yang membara, papanya menampar pipi Shally untuk pertama kalinya.

Ø  Aku mendengus jijik. “Kenapa sih, Papa selalu membela Stella? Seolah olah, di mata Papa, Stella itu seperti malaikat saja. (hlm 129 prgraf lima)
Rasa benci Shally terhadap Stella sangat jelas tergambar dalam ucapannya. Apalagi orang yang dia sukai Jason juga menyukai Stella dan papanya pun membela Stella. Ia semakin cemburu kepada Stella sehingga menjadi sangat benci kepada Stella

Ø  “Dia adik tiri saya. Anak wanita yang telah merampas ayah saya. Anak wanita yang menyebabkan ibu saya menderita, kembali ke kampung halamannya di Australia, lalu mati karena penyakit peneumonia. (hal 138 paragraf dua)
Jason sangat membenci Stella, karena Stella adalah anak dari wanita yang telah merebut papanya. Maka dari itu Jason sangat ingin mencelakai Stella, membuat hidup Stella menderita dan hancur seperti apa yang pernah ia rasakan. Membalas dendam agar dia merasa puas

Ø  Watch Out, Stella! Nerakamu belum berakhir! Selama aku hidup, nerakamu tak akan pernah berakhir! (hal 147 paragraf dua)
Kebencian Jason tak kunjung hilang walaupun ia sudah menerima hukuman atas perbuatannya pada Stella. Ia tidak akan pernah merasa puas sebelum menghancurkannya.

v  Cinta
Ø  Aku jatuh cinta? Terlalu dini untuk mengatakannya, karenacowok berkacamata minus dan berambut ikal cokelat keemasan itu baru kemarin masuk kesekolah ini. (hal 11 paragraf dua)
Pada saat itu Stella sedang mengamati murid baru di sekolahnya dan ia merasa tertarik kepada cowok tersebut, namun dalam tahap ini cinta  Stella pada murid baru itu baru sebatas suka

Ø  Aku jatuh cinta?
Terlalu dini untuk mengatakannya, karena cowok berwajah bule dan berkacamata minus itu baru kemarin masuk ke sekolah ini.
Sesekali aku mencuri pandang ke arah bangku ketiga dari depan itu. Gelenyer-gelenyer aneh mulai berdenyut di dadaku setiap kali dia balas memendang (hal 33 paragraf lima dan enam)
Pada saat itu Shally sedang mengamati murid baru di sekolahnya dan ia merasa tertarik kepada cowok tersebut, namun dalam tahap ini cinta  Shally pada murid baru itu baru sebatas suka

Ø  “Ngak masalah, lo cinta ama gue atau ngak. Gue Cuma mau, lo ada di sisi gue, itu saja! Save my life, Stella. Cuma lo yang bisa, Please....” (hlm 83 pargraf lima)
Saat itu Robby sedang memohon kepada Stella untuk menerima cintanya. Robby tidak peduli Stella akan balas mencintainya atau tidak, yang paling penting Stella selalu ada mendampinggi Robby.
Ø  Robby berjongkok di sebelahku, menggenggam tanganku. “Stella, gue nggak mungkin bikin lo celaka,” katanya lembut. “Lo tau kan gue cinta banget sama lo!?”
Robby berusaha meyakinkan Stella akan cinta tulus yang dia miliki, dia tidak mungkin mencelakai gadis yang sangat di cintainya itu. Dia berusaha membuat Stella merasa aman berada di sampingnya. Robby pun tidak marah ketika Stella bertanya tentang hal yang tidak mungkin ia lakukan.











BAB III
PENUTUP

  ¯   SIMPULAN
Dari hasil analisis sederhana yang telah diuraikan di atas, dapat di ambil kesimpulan, Novel Lovinrique cukup berhasil menggambarkan kejiwaan anak-anak remaja saat ini. Dengan sifat-sifat khasnya yang mencoba mencari pemahaman terhadap dunia. Tokoh Stella dan Shally digambarkan memiliki karakter yang gigih. Berjuang sekuat tenaga dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Usaha Stella dan Shally tidak mendapat jalan yang mudah. Banyak mendapat kendala. Juga banyak konflik yang ikut menyertainya. Antara lain konflik dengan dirinya sendiri dan konflik dengan tokoh lain. Tapi keduanya tidak putus asa dan terus melakukan perjuangannya.
Pembaca yang pas untuk novel ini adalah anak-anak remaja SMA dan ABG . Hal ini karena logika-logika dan pengetahuan yang tergambar di dalam novel cukup sulit untuk dipahami oleh anak-anak di bawah usia lima belas tahun, dan dikhawatirkan akan meniru.
Keberadaan klasifikasi emosi yang ditulis berdasarkan hasil pengamatan analisis yang terdapat dalam novel sastra “Lovintrique” ialah (1) Konsep Rasa Bersalah (2) Rasa Bersalah yang Dipendam (3) Rasa Malu (4) Kesedihan (5) Kebencian (6) Cinta . Klasifikasi Emosi terdapat, pada dialog dan pernyataan antara Stella, Shally dan tokoh lainnya.

  ¯   SARAN
Melalui analisis Novel sastra “Lovintrique”. Saya berharap akan ada analisis-analisis psikosastra lainnya yang jauh lebih baik dari saya, sehingga sayapun dapat belajar lebih banyak lagi. Dengan menganalisis, menambah wawasan saya tentang psikologi dan sastra dalam satu buku. Demikian yang dapat saya paparkan mengenai analisis psikosastra, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul novel ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya analisis ini dan penulisan di kesempatan - kesempatan berikutnya. Semoga analisis ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

  ¯   DAFTAR PUSTAKA
Febrina Wetry 2007. Lovintrique. Jakarta: Media Kita

Ahmadi, H.Abu. 2003. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 24 Oktober 2013

Psikosastra (analisis Loveintrique)

BAB I
PENDAHULUAN
  ¯   LATAR BELAKANG
Pada hakitanya sebuah karya sastra adalah replika kehidupan nyata. Walaupun berbentuk fiksi, misalnya cerpen, novel, dan drama, persoalan yang disodorkan oleh pengarang tak terlepas dari pengalaman kehidupan nyata sehari-hari. Hanya saja dalam penyampaiannya, pengarang sering mengemasnya dengan gaya yang berbeda-beda dan syarat pesan moral bagi kehidupan manusia.
Menurut Iswanto dalam Jabrohim (2003:59), “Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya.” Pendapat tersebut mengandung implikasi bahwa karya sastra (terutama cerpen, novel, dan drama) dapat menjadi potret kehidupan melalui tokoh-tokoh ceritanya.
Meskipun demikian, karya sastra yang diciptakan pengarang kadang-kadang mengandung subjektivitas yang tinggi. Seperti dikemukakan oleh Siswantoro (2005:2) berikut ini.
Imajinasi yang tertuang dalam karya sastra, meski dibalut dalam semangat kreativitas, tidak luput dari selera dan kecenderungan subjektif, aspirasi, dan opini personal ketika merespons objek di luar dirinya, serta muatan-muatan khas individualistik yang melekat pada diri penulisnya sehingga ekspresi karya bekerja atas dasar kekuatan intuisi dan khayal, selain kekuatan menyerap realitas kehidupan. Itulah sebabnya di dalam sebuah cerita, cerpen atau novel, seorang pengarang sering mengangkat fenomena yang terjadi di masyarakat. Dengan harapan para pembaca dapat mengambil hikmah dari fenomena tersebut.
Pada dasarnya isi sebuah karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Sangat beragam perilaku manusia yang bisa dimuat dalam cerita. Kadang-kadang hal ini terjadi perulangan jika diamati secara cermat. Pola atau keterulangan inilah yang ditangkap sebagai fenomena dan seterusnya diklasifikasikan ke dalam kategori tertentu seperti gejala kejiwaan, sosial, dan masyarakat. Sebagai misal perilaku yang berhubungan gejala kejiwaan yaitu fenomena rasa bersalah atau kebencian (hate). Pemahaman kalsifikasi emosi ini dapat dilakukan dengan mengadakan pendekatan psikologis.
Menurut Semi (1993:79) bahwa pendekatan psikologis menekankan analisis terhadap karya sastra dari segi intrinsik, khususnya pada penokohan atau perwatakannya. Penekanan ini dipentingkan, sebab tokoh ceritalah yang banyak mengalami gejala kejiwaan.
Secara kategori, sastra berbeda dengan psikologi, sebab sebagaimana sudah kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, esai yang diklasifikasikan ke dalam seni (art) sedang psikologi merujuk kepada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Meski berbeda, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Bicara tentang manusia, psikologi jelas terlibat erat, karena psikologi mempelajari perilaku. Perilaku manusia tidak lepas dari aspek kehidupan yang membungkusnya dan mewarnai perilakunya. Hal ini dinyatakan oleh Teeuw (1991:62-64), “Konvensi sastra merupakan alat yang mengarahkan kemungkinan pemberian makna yang sesuai pada sebuah karya sastra.”
Novel atau cerpen sebagai bagian bentuk sastra, merupakan jagad realita di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh). Realita sosial, realita psikologis, realita religius merupakan terma-terma yang sering kita dengar ketika seseorang menyoal novel sebagai realita kehidupan. Secara spesifik realita psikologis sebagai misal, adalah kehadiran fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama ketika merespons atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan. Sebagai contoh, penampakan gejala klasifikasi emosi dapat penulis temui di dalam novel Lovintrique oleh Wetry Febrina. Tokoh utama “Stella dan Shelly” adalah dua orang remaja, yang serupa tapi tak sama, sama-sama cantik, pintar dan menarik.
Novel Lovintrique karangan Wetry Febrina sangat menarik bila dikaji dengan pendekatan psikologis, khususnya dalam analisis klasifikasi emosi. Novel ini mempunyai kelebihan di antaranya ialah dua tokoh utama cerita ternyata mampu dan tegar menghadapi berbagai fenomena hidup meskipun di dalamnya banyak terjadi konflik. Di lain pihak, melalui tokoh cerita pengarang ingin menyampaikan pesan moral kepada pembaca bahwa pentingnya orang tua memberikan pendidikan yang baik kepada anak. apa yang diperbuat oleh sang tokoh cerita semata-mata akibat dari rasa frustrasi dan kecewa yang berat dengan kedua orang tuanya.
Lovintrique adalah novel perdana Wetry Febrina, anak sulung dari enam bersaudara yang lahir tepat dengan hari valentine. Penggemar Dasboard Confessional dan Red Hot Chilli Peppers ini sudah hobi menulis sejak SMP. Walau sejumlah cerpennya sudah pernah nongol di beberapa majalah dan tabloid, ia tetap merasa belum bisa disebut penulis sebelum novelnya terbit.
Novel ini sangat menarik untuk di baca oleh remaja-remaja masa kini. Banyaknya intrik dalam cerita  menjadi kelebihan yang dimilki oleh novel “Lovintrique”. Dan pelajaran dalam intrik novel ini bisa menjadi pelajaraan bagi kita. Banyak pelajaran yang kita dapat ketika membaca novel karangan Wetry Febrina. Orangtua adalah panutan bagi kita. Orangtua juga berperan penting dalam pertumbuhan kita. Sehingga, orangtua seharusnya bisa menciptakan suasana harmonis dalam keluarganya guna mencapai hidup rukun dan bahagia.






  ¯   LANDASAN TEORI
Klasifikasi Emosi
            Kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan kerap kali dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotions). Situasi yang membangkitkan perasaan-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan yang ditimbulkannya dan mengakibatkan meningkat ketegangan (Krech, 1974:471). Ciri khas yang menandai perasaan benci ialah timbulnya nafsu atau keinginan untuk menghancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian.
1)      Konsep Rasa Bersalah
Bisa disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi impuls dan standar moral (impuls expression versus moral standards)
2)      Rasa Bersalah yang Dipendam
Dalam kasus rasa bersalah,seseorang cenderung merasa bersalah dengan cara memendam dalam dirinya sendiri, memeng ia biasanya bersikap baik, tetapi ia seorang yang buruk.
3)      Menghukum diri sendiri
Perasaan bersalah yang paling menggangu adalah sebagaimana terdapat dalam sikap menghukum diri sendiri, si individu terlihat sebagai sumber dari sikap bersalah.
4)      Rasa Malu
Timbulnya rasa malu tanpa terkait rasa bersalah
5)      Kesedihan (Dukacita)
Berhubungan dengan kehilangan sesuatu yang penting atau bernilai.
6)      Kebencian
Berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu dan iri hati.
7)      Cinta
Perasaan cinta bervariasi dalam beberapa bentuk; intensitas pengalaman pun memiliki rentang dari yang terlembut sampai kepada yang amat mendalam; derajat sayang yang paling tenang sampai pada gelora nafsu yang kasar dan agitatif.

  ¯   TUJUAN
1.      Inggin mengetahui psikologi sastra yang terdapat dalam sebuah karya sastra berbentuk novel, ditinjau dari metode, teori dan contoh kasus.
2.      Mendeskripsikan secara lengkap bentuk klasifikasi emosi ditinjau dari novel Lovintrique.
3.      Menggambarkan kehidupan dalam novel ini melalui analisis klasifikasi emosi.
  ¯   MANFAAT
1.      Manfaat keilmuan dalam kasus ini bersifat confirmatory (membenarkan) bahwa ada hubungan antara psikologi dan sastra sebagai teori yang dilontarkan oleh pakar-pakar sastra.
2.      Memperoleh deskripsi bentuk klasifikasi emosi ditinjau dari segi novel
3.      Menambah wawasan penulis mengenai psikologi dan sastra yang tepat dalam sebuah proses berbahasa pada novel
4.      Meningkatkan minat dan apresiasi bagi para pembelajar bahasa Indonesia
5.      Menjadi referensi bagi penulis selanjutnya yang akan melakukan penelitian pada novel





BAB II
PEMBAHASAN
  ¯   SINOPSIS
BAHAGIA DALAM KEDAMAIAN HIDUP
Ø  Judul Novel : Lovintrique
Ø  Nama Pengarang : Wetry Febriana
Ø  Kota Terbit : Jl. Haji Montong No. 57 Ciganjur Jagakarsa
Jakarta Selatan 12630
Tlep. ( Hunting ) : (0271) 788 83030; Ext.: 213, 214, 216
Faks. (0271) 727 0996
Situs web : www.mediakita.com
Ø  Jumlah Halaman : viii+150 halaman
Kebahagiaan, manusia yang hidup di dunia ini pasti ingin hidupnya bahagia. Tidak ada seorangpun di dunia ini menginginkan hidup sengsara selama hidupnya. Oleh karena itu demi mencapai hidup bahagia, kita harus berusaha dan terus berusaha untuk menjalani hidup ini dengan sebaik mungkin. Dengan berusa semaksimal kita pasti kita dapat merasakan bahagianya hidup ini.
Seperti yang dikisahkan dalam novel karangan Wetry Febrina ini, dua anak manusia yang bernama Stella dan Shally. Mereka teman sebangku tapi hubungan mereka mirip kucing dan tikus. Mereka memiliki sifat yang berbeda jauh . Sama-sama cantik, sama-sama pintar. Dan sama-sama ingin menjalani hidup yang bahagia. Stella, seorang selebritis yang sedang naik daun, selalu sibuk dengan pekerjaannya yang sebenarnya menjadi selebritis bukan keinginannya. Dia kehilangan masa remajanya, karena kesibukannya. Stella yang lahir dari perselingkuhan mamanya. Papa Stella meninggal, Stella di jadikan ladang emas oleh mamanya, Untuk menghidupi keluarganya. Stella merasa tersiksa dengan ini semua.
Sedangkan Shally, orang yang cerdas tapi jutek abis, dan tidak suka bersosialisasi, ternyata memendam alasan khusus untuk selalu menjadi juara kelas. Ambisi Shally untuk menjadi juara kelas bukan tanpa alasan. Shally depresi berat karena kedua orang tuanya mau bercerai, mama Shally seorang pecandu narkoba, papa Shally seorang selebritis. Setelah perselingkuhan papa Shally dengan seorang selebritis pendatang baru mencuat ke permukaan, keluarga Shally semakin kacau. Itu lah penyebabnya kenapa Shally begitu membenci Stella karena bagi Shally, artis tak lebih dari wanita murahan.
Hubungan Stella dan Shally semakin meruncing karena Jason, anak indo-aussie yang membuat mereka jatuh hati. Jason lebih menyukai Stella daripada Shally, tetapi Stella menolak Jason karena iba kepada Shally. Dia ingin Shally yang mendapatkan Jason, terlebih lagi mama Shally koma karena mencoba membunuh diri karena tidak tahan dengan kelakuan suaminya. Stella lebih memilih Robby lawan mainnya dalam sebuah sinetron, dengan tujuan Jason berpaling dari Stella. Stella bertekat untuk memperbaiki hubungannya dengan Shally, dengan mendonorkan darahnya untuk mama Shally. Karena pengorbanan Stella, Shally pun luluh. Dan pada akhirnya mereka bersahabat. Orangtua Shally rujuk, dan sekarang Stella tidak dituntut untuk berkarya di dunia hiburan. Mama Stella lah yang kini menjadi selebritis. Dan kebahagiaan menjadi milik mereka.
  ¯   UNSUR INTRINSIK
       v   TEMA            
Percintaan, Perjuangan hidup untuk mengapai kebahagiaan.
       v   TOKOH DAN PENOKOHAN
Penokohan pada novel ini digambarkan oleh pengarang denagn sangat jelas. Melalui cirri-ciri fisik maupun penggambaran sifat. Sifat tokoh yang digunakan adalah Protagonis dan Tritagonis.
Ø  Stella Diatmojo                 : seorang gadis yang baik hati, pintar, berani
Ø  Shally        Budianta         : seorang gadis cerdas, galak, jutek, tidak suka bersosialisasi
Ø  Mama Stella (Diana)         : seorang ibu yang ambisisus, menjadikan anaknya ladang uang baginya
Ø  Jason Jennings                   : kakak tiri dari Stella, pendendam
Ø  Robby                               : seorang pria baik, setia, tulus, rela berkorban, sangat mencintai Stella
Ø  Marco Budianta                : Ayah dari Shally, seorang aktor yang terlibat perselingkuhan, namun akhirnya ia bertanggung jawab atas perbuatannya.
       v   ALUR                         :
Maju mundur (flash back) kaerena menceritakan kejadian sekarang kemudian menceritakan kejadian masa yang telah terlewati, kemudian menceritakan kembali kejadian sekarang.
       v   LATAR
Ø  TEMPAT        : Rumah, Kompleks Perunahan, Sekolah, Perkotaan, Rumah sakit, tempat Syuting, Restoran Padang Sederhana Baru, Ruang Guru, Ruang Sidang, Mall
Ø  WAKTU         : pagi, malam, 4.30am, 5.18 am, 6.45 pm, 10.45 am, 12.20 pm, 6.00 pm, 1.00 pm, 2.45 pm, 10.15 pm, 11.10 pm
Ø  SUASANA     : bahagia, sedih, marah, cemburu, panik, hujan, mendung, murung,
       v   SUDUT PANDANG
Novel ini menggunakan Sudut pandang Stella dan Shally, yaitu sudut pandang orang pertama, sudut pandang ini biasanya menggunakan kata ganti aku atau saya. Dalam hal ini pengarang seakan-akan terlibat dalam cerita dan bertindak sebagai tokoh cerita. 
       v   GAYA BAHASA
Bahasa yang digunakan tidak terlalu berbelit-belit mengikuti perkembangan zaman sekarang(modern) dan sesuai dengan kondisi remaj sekarang, sehingga, memudahkan kita untuk memahami isi novel ini. 
Ø  Kata Ganti Orang
Kata-kata ganti orang yang digunakan dalam Lovintrique adalah gue, loe, saya, aku, kamu, ia, dia, kita.
o   Gue-lo digunakan antara tokoh-tokoh remaja yang saling mengenal.
o   Saya digunakan dalam dialog antara tokoh-tokoh remaja dalam situasi formal dan dialog antara tokoh remaja dengan tokoh dewasa selain orang tua dalam situasi apa pun. Remaja menggunakan nama sendiri sebagai kata ganti orang pertama tunggal bila berbicara dengan orang tuanya.
o   Aku digunakan oleh tokoh utama bila sedang merenung atau berbicara dalam hati pada dirinya sendiri. 
o   Kamu digunakan oleh orang tua terhadap anaknya.
o   Tidak ada konsistensi dalam penggunaan dia dan ia, baik dalam dialog maupun narasi.
o   Kita digunakan sebagai kata ganti orang pertama jamak dan kata ganti orang pertama sekaligus kedua jamak.
Pilihan Kata
Kata-kata dalam dialog-dialog Lovintrique juga banyak yang menggunakan kata-kata baku, termasuk dalam dialog antara tokoh-tokoh remaja dalam situasi nonformal.
Kata-kata tidak baku juga banayak dalam narasi ataupun dialog Lovintrique.
Terdapat banyak ungkapan fatis, baik dalam dialog maupun narasi Lovintrique seperti deh, tuh, nih, dong, lho, kan, dan sih.
Pengunaan Bahasa Asing
Novel ini juga menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris (hampir semuanya dicetak miring). Banyak istilah-istilah lain yang menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris.
Simile
Simile merupakan perbandingan yang bersifat eksplisit, maksudnya ialah bahwa ia lansung mengatakan sesuatu sama dengan hal lain. Dalam hal ini bahasa yang membandingkan mengunakan kata-kata perbandingan, terlihat dalam ketipan berikut:
Seorang bintang tanpa penggemar itu ibarat malam tanpa bintang. Kegelapan dan kesepian tanpa cahaya (hlm 4 pargraf dua)
Mataku menerawang, percayalah, meski di luar aku kelihatan tegar, sebenarnya hatiku sangat gamang, seperti seseorang yang sedang meniti tali di awang-awang. (hlm 111 paragraf lima)
Hiperbola
Adalah gaya bahasa yang mangandung ungkapan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal Contohnya:
Seseorang yang untuk pertama kalinya, bisa membuat jantungku berdetak ribut, hanya karena melihat punggungnya dikelas. (hlm 33 prgraf pertama).
Pelipisku berdenyut, Sialan! Cowok berkacamata itu membuatku hilang ingatan. Dan, mendadak, soal-soal ulangan fisika di papan tulis jadi sangat sulit dipecahkan. (hlm 34 prgraf satu).
       v   AMANAT
Ø  Jangan pernah dendam kepada seseorang. karena hal itu, selain dapat merugikan diri sendiri, juga dapat merugikan orang lain.
Ø  Kekuatan cinta, dapat mengubah segalanya. Seperti mengubah sesuatu hal yang paling buruk menjadi sesuatu yang dapat dimengerti dan disukai banyak orang.
Ø  Dalam menghadapi masalah, tidak boleh putus asa, apalagi melakukan sesuatu yang dapat merugikan diri sendiri, atau orang lain
Ø  Setiap ada kemauan, pasti ada jalan.
Ø  Pilihan itu ada, namun tergantung siap atau tidak kita menanggung resiko dari pilihan yang kita itu.



  ¯   ANALISIS
v  Konsep Rasa Bersalah
Ø  Sekarang aku sedikit menyesal telah menanyakan hal itu, karena wajah Jason mendadak meberubah mendung dan murung. Sepertinya aku sudah membuatnya menginggat sesuatu yang pahit. (Hlm 45 paragraf lima)
Saat Itu Stella sedang bercakap-cakap dengan Jason. Stella bertanya tentang sesuatu yang bersifat pribadi, dan Jasonpun tidak berkeberatan menjawabnya. Namun karena pertanyaan Stella tersebut, Jason menceritakan kisah sedih yang dialami dirinya dan mamanya, hingga membuat Jason kembali mengingat masa lalunya yang suram, hal itu tergambar jelas di raut wajahnya. Disana Stella merasa sangat bersalah karena sudah bertanya hal yang membuat Jason bersedih, seharusnya ia tidak bertanya yang aneh-aneh.  Akhirnya Stella memutuskan untuk tidak bertanya lagi dan mengalihkan pada hal yang lain.
Stella menangkap situasi rasa bersalah yang ia alami, ia sadar apa yang harus dilakukannya dan ia sungguh memahami bahwa ia telah melanggar suatu keharusan

v  Rasa Bersalah yang dipendam
Ø  Stella, sejujurnya, bukan loe yang gue benci, tapi orang-orang yang berfrofesi seperti lo...,”desis Shally pelan. (hlm 104 paragraf tiga)
Setelah Shally mengamati lebih seksama tentang Stella dari kejadian di Rumah Sakit. Maka, Shally memiliki perasaan bersalah yang dipendam. Ternyata tidak semua artis itu  kotor dan munafik. Meskipun sebagian benar tapi Stella tidak seperti itu. Namun disini Shally belum sepenuhnya bersikap baik, karena setelah bercerita tentang masa kanak-kanaknya, Shally kembali bersikap buruk kepada Stella, sehingga rasa bersalahnya terus dipendam.
Ø  Aku membeku. Seolah-olah seseorang baru saja menyiram kepalaku dengan seember es, mendadak tubuhku mati rasa. “Maksud mama apa, sih?”
AKU TAK MEMPERCAYAI TELINGAKU. “Dia apa? Masak sih?” tanyaku lemah. Mendadak, aku digeleyuti berton-ton perasaan bersalah. (hal 131 paragraf lima dan tujuh)
Ketika mendengar dari mamanya bahwa Stellalah yang telah mendonorkan darah untuk mamanya. Shally merasa sangat bersalah, rasa bersalahnya yang dahulu di pendam kini semakin menjadi. Rasa bersalah yang dipendam membuatnya ingin menghukum diri sendiri.

Ø  Lalu kenapa Pa?” tanyaku terisak. “Kenapa Papa nggak pernah cerita?” Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Stella..., ya, Tuhan. (hlm 132 pargraf pertama dan ketiga)
Shally sangat menyesal dengan segala hal yang telah ia perbuat kepada Stella, selama ini Shally selalu berbuat Jahat kepada Stella hanya karena profesi Stella sama dengan wanita simpanan papanya. Akhirnya, demi menebus rasa bersalah yang dipendamnya selama ini Shally akan berbicara di persidangan untuk membantu Stella.

v  Menghukum diri sendiri
Ø  “Gue frustasi,” keluh Robby seraya kembali mengisap lintingan ganjanya. “Orangtua gue cerai. Bokap gue balik ke Belanda. Nyokap gue dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Sekolah gue ancur karena gue bodoh, disleksia pula. (hlm 76 paragraf tiga)
Perasaan bersalah yang dimiliki Robby atas kehidupannya, membuat Robby menghukum diri sendiri dengan terjun kedalam hal-hal negatif. Ia merasa tidak berguna dan tidak memiliki cahaya dalam hidupnya.
Ø  Kalau lo mau nerima gue, gue janji akan berubah. Gue akan berhenti dugem, berhenti ngeganja, berhenti melakukan apapun yang elo nggak suka!" Katanya lagi.
Jika Stella menerima cinta Robby maka Robby akan menghukum dirinya sendiri dengan tidak melakukan segala hal yang Stella tidak suka. Robby rela tidak melakukan hal yang biasanya ia lakukan demi cintanya kepada Stella.

v  Rasa Malu
Ø  “Kamu memeng benar-benar memalukan Stella,” Mama berdecak kesal. “Mama benar-benar kehilangan muka di depan Marco! ( hlm 99 pargraf tiga)
Saat itu Mama Stella sangat malu di depan Marco, mamanya merasa Stella sudah keterlaluan. Stella hanya sekedar kolega di dunia seni peran  tidak pantas berkata hal yang menyinggung perasaan terhadap orang yang memiliki pengaruh besar dalam dunia seni peran, begitu pikir mamanya
Ø  Ya ampun, Stella. Mama malu...! Mama malu, nak!: teriak mamaku histeris. “Mau ditaruh dimana mukaku ini, Mas hendar? Aduh, Stella....Mama bilang juga apa?jauhi Robby! Eh malah kamu pake pacaran segala sama dia. Lihat sendiri, kan, akibatnya?!” (hlm 125 paragraf dua dan empat)
Sebagai Ibu sekaligus manager Stella, Diana sangat tidak tenang. Anaknya yang merupakan artis terkenal diduga terlibat kasus narkoba. Berita dimana-mana membuat mama Stella panik, ia merasa malu luar biasa, karena itu merupakan ancaman sosial baginya, ia tidak mau pamor Stella menurun. Mama Stella memandang bahwa apa yang telah terjadi pada anaknya akibat pengaruh pergaulan dengan anak yang kelas sosialnya sama.
v  Kesedihan
Ø  KITA BERCERAI SAJA!” samar-samar kudengar papaku berteriak. Membuatku mendadak menggigil pilu. Segera saja aku berlari menerjang kamar tidur orangtuaku, mengamuk!
Mengapa? AKU TAK KEBERATAN KALIAN BERTENGKAR TIAP HARI, ASAL JANGAN BERCERAI! Tolong, Pa, Ma. Aku ngak mau jadi anak yatim piatu!” teriakku setengah meratap, dengan pandangan kabur oleh air mata. (hal 39, paragraf satu dua tiga)
Pada saat itu kedua orang tua Shally sedang bertengkar, sebagai seorang anak tunggal Shally merasa sangat sedih, iaa tidak mau kehilangan salah satu dari kedua orang tuanya. Shally memohon kepada orang tuanya agar tidak bercerai, setiap hari bertengkar saja sudah membuatnya sangat sedih, apalagi bercerai, itu akan menghancurkannya.

Ø  Tetesan-tetesan hangat menetes di bahuku saat tubuh mama berguncang menahan isak. (hlm 107 paragraf enam)
Shally dan mamanya berpelukan dengan kesedihan yang sama mereka sangat berharap papanya bisa seperti dahulu. Tapi kenyataan tidak bisa dibohongi dia sangat sedih karena tidak bisa berkumpul seperti dahulu. Dia berharap papanya akan kembali. Andai dia seperti Stella pasti bisa bertemu dengan papanya setiap hari. Karena sangat sedih mama Shelly melampiaskannya pada ganja. Mereka berdua berharap bisa bahagia bersama papanya sampai akhirnya mamanya menangis.
Ø  Mataku menerawang, percayalah, meski di luar aku kelihatan tegar, sebenarnya hatiku sangat gamang, seperti seseorang yang sedang meniti tali di awang-awang. (hlm 111 paragraf lima)
Saat itu Shally sedang bersedih karena kondisi mamanya memburuk namun ia tetap berusaha tegar dihadapan papanya.
Ia juga tak mau melihat papanya bertambah sedih jika melihatnya juga tengah bersedih.

Ø   “Ibu saya sedang koma di rumah sakit.” Beliau kekurangan darah, “ucap Shally terbata. “Rumah sakit tak punya lagi persediaan golongan darah AB resus positif. Kalau tidak secepatnya ditransfusi, mama saya... mama saya...” (hlm 112 paragraf tiga)
Shally sangat berharap bisa mendapatkan donor darah yang sama dengan mamanya. Maka dari itu dia menyiarkan permohonan tersebut malalui media TV. Tapi  kalimatnya terputus karena Shally terisak di depan kamer, ia tidak dapat membendung rasa sedihnya sehingga sampai menangis dan tidak melanjutkan kata-katanya.

Ø  Aku menopang kepalaku. Terlalu sedih untuk menangis. Aku leleh menangis. Aku lelah diinterogasi. Aku lelah menghadapi semua ini. (hlm 124 pararaf tiga)
Stella sedang berada di kantor polisi. Intensitas rasa sedih yang sangat mendalam membuat Stella tidak mampu untu menangis lagi. Ia berat menerima kenyataan itu, karena ia harus bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak ia lakukan.

v  Kebencian
Ø  AKU BENCI PAPA! PAPA YANG MEMBUNUH MAMA, KAN?”
(hlm 84 paragraf kedua)
Pada saat itu Shally sangat marah ketika melihat mamanya nya tak berdaya, sementara papanya persis berada di depan sang mama dengan berlumuran darah. Seketika Shally sangat benci papanya ia berteriak-teriak pada papanya sebagai sasaran kebenciannya.

Ø  Kalau mama mati, aku akan bunuh diri. Shit! aku benci papa! Aku dendam pada papa! Gelap di  sekelilingku. Tubuhku mendadak dingin dan beku. (hlm 85 paragraf pertama)
Shally berada diatas kebencian yang membara, papanya menampar pipi Shally untuk pertama kalinya.

Ø  Aku mendengus jijik. “Kenapa sih, Papa selalu membela Stella? Seolah olah, di mata Papa, Stella itu seperti malaikat saja. (hlm 129 prgraf lima)
Rasa benci Shally terhadap Stella sangat jelas tergambar dalam ucapannya. Apalagi orang yang dia sukai Jason juga menyukai Stella dan papanya pun membela Stella. Ia semakin cemburu kepada Stella sehingga menjadi sangat benci kepada Stella

Ø  “Dia adik tiri saya. Anak wanita yang telah merampas ayah saya. Anak wanita yang menyebabkan ibu saya menderita, kembali ke kampung halamannya di Australia, lalu mati karena penyakit peneumonia. (hal 138 paragraf dua)
Jason sangat membenci Stella, karena Stella adalah anak dari wanita yang telah merebut papanya. Maka dari itu Jason sangat ingin mencelakai Stella, membuat hidup Stella menderita dan hancur seperti apa yang pernah ia rasakan. Membalas dendam agar dia merasa puas

Ø  Watch Out, Stella! Nerakamu belum berakhir! Selama aku hidup, nerakamu tak akan pernah berakhir! (hal 147 paragraf dua)
Kebencian Jason tak kunjung hilang walaupun ia sudah menerima hukuman atas perbuatannya pada Stella. Ia tidak akan pernah merasa puas sebelum menghancurkannya.

v  Cinta
Ø  Aku jatuh cinta? Terlalu dini untuk mengatakannya, karenacowok berkacamata minus dan berambut ikal cokelat keemasan itu baru kemarin masuk kesekolah ini. (hal 11 paragraf dua)
Pada saat itu Stella sedang mengamati murid baru di sekolahnya dan ia merasa tertarik kepada cowok tersebut, namun dalam tahap ini cinta  Stella pada murid baru itu baru sebatas suka

Ø  Aku jatuh cinta?
Terlalu dini untuk mengatakannya, karena cowok berwajah bule dan berkacamata minus itu baru kemarin masuk ke sekolah ini.
Sesekali aku mencuri pandang ke arah bangku ketiga dari depan itu. Gelenyer-gelenyer aneh mulai berdenyut di dadaku setiap kali dia balas memendang (hal 33 paragraf lima dan enam)
Pada saat itu Shally sedang mengamati murid baru di sekolahnya dan ia merasa tertarik kepada cowok tersebut, namun dalam tahap ini cinta  Shally pada murid baru itu baru sebatas suka

Ø  “Ngak masalah, lo cinta ama gue atau ngak. Gue Cuma mau, lo ada di sisi gue, itu saja! Save my life, Stella. Cuma lo yang bisa, Please....” (hlm 83 pargraf lima)
Saat itu Robby sedang memohon kepada Stella untuk menerima cintanya. Robby tidak peduli Stella akan balas mencintainya atau tidak, yang paling penting Stella selalu ada mendampinggi Robby.
Ø  Robby berjongkok di sebelahku, menggenggam tanganku. “Stella, gue nggak mungkin bikin lo celaka,” katanya lembut. “Lo tau kan gue cinta banget sama lo!?”
Robby berusaha meyakinkan Stella akan cinta tulus yang dia miliki, dia tidak mungkin mencelakai gadis yang sangat di cintainya itu. Dia berusaha membuat Stella merasa aman berada di sampingnya. Robby pun tidak marah ketika Stella bertanya tentang hal yang tidak mungkin ia lakukan.











BAB III
PENUTUP

  ¯   SIMPULAN
Dari hasil analisis sederhana yang telah diuraikan di atas, dapat di ambil kesimpulan, Novel Lovinrique cukup berhasil menggambarkan kejiwaan anak-anak remaja saat ini. Dengan sifat-sifat khasnya yang mencoba mencari pemahaman terhadap dunia. Tokoh Stella dan Shally digambarkan memiliki karakter yang gigih. Berjuang sekuat tenaga dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Usaha Stella dan Shally tidak mendapat jalan yang mudah. Banyak mendapat kendala. Juga banyak konflik yang ikut menyertainya. Antara lain konflik dengan dirinya sendiri dan konflik dengan tokoh lain. Tapi keduanya tidak putus asa dan terus melakukan perjuangannya.
Pembaca yang pas untuk novel ini adalah anak-anak remaja SMA dan ABG . Hal ini karena logika-logika dan pengetahuan yang tergambar di dalam novel cukup sulit untuk dipahami oleh anak-anak di bawah usia lima belas tahun, dan dikhawatirkan akan meniru.
Keberadaan klasifikasi emosi yang ditulis berdasarkan hasil pengamatan analisis yang terdapat dalam novel sastra “Lovintrique” ialah (1) Konsep Rasa Bersalah (2) Rasa Bersalah yang Dipendam (3) Rasa Malu (4) Kesedihan (5) Kebencian (6) Cinta . Klasifikasi Emosi terdapat, pada dialog dan pernyataan antara Stella, Shally dan tokoh lainnya.

  ¯   SARAN
Melalui analisis Novel sastra “Lovintrique”. Saya berharap akan ada analisis-analisis psikosastra lainnya yang jauh lebih baik dari saya, sehingga sayapun dapat belajar lebih banyak lagi. Dengan menganalisis, menambah wawasan saya tentang psikologi dan sastra dalam satu buku. Demikian yang dapat saya paparkan mengenai analisis psikosastra, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul novel ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya analisis ini dan penulisan di kesempatan - kesempatan berikutnya. Semoga analisis ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

  ¯   DAFTAR PUSTAKA
Febrina Wetry 2007. Lovintrique. Jakarta: Media Kita

Ahmadi, H.Abu. 2003. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar