BAB I
PENDAHULUAN
¯
LATAR
BELAKANG
Pada
hakitanya sebuah karya sastra adalah replika kehidupan nyata. Walaupun
berbentuk fiksi, misalnya cerpen, novel, dan drama, persoalan yang disodorkan
oleh pengarang tak terlepas dari pengalaman kehidupan nyata sehari-hari. Hanya
saja dalam penyampaiannya, pengarang sering mengemasnya dengan gaya yang
berbeda-beda dan syarat pesan moral bagi kehidupan manusia.
Menurut
Iswanto dalam Jabrohim (2003:59), “Karya sastra lahir di tengah-tengah
masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap
gejala-gejala sosial di sekitarnya.” Pendapat tersebut mengandung implikasi
bahwa karya sastra (terutama cerpen, novel, dan drama) dapat menjadi potret
kehidupan melalui tokoh-tokoh ceritanya.
Meskipun
demikian, karya sastra yang diciptakan pengarang kadang-kadang mengandung
subjektivitas yang tinggi. Seperti dikemukakan oleh Siswantoro (2005:2) berikut
ini.
Imajinasi
yang tertuang dalam karya sastra, meski dibalut dalam semangat kreativitas,
tidak luput dari selera dan kecenderungan subjektif, aspirasi, dan opini
personal ketika merespons objek di luar dirinya, serta muatan-muatan khas
individualistik yang melekat pada diri penulisnya sehingga ekspresi karya
bekerja atas dasar kekuatan intuisi dan khayal, selain kekuatan menyerap
realitas kehidupan. Itulah sebabnya di dalam sebuah cerita, cerpen atau novel,
seorang pengarang sering mengangkat fenomena yang terjadi di masyarakat. Dengan
harapan para pembaca dapat mengambil hikmah dari fenomena tersebut.
Pada
dasarnya isi sebuah karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter
tokoh-tokoh cerita. Sangat beragam perilaku manusia yang bisa dimuat dalam
cerita. Kadang-kadang hal ini terjadi perulangan jika diamati secara cermat.
Pola atau keterulangan inilah yang ditangkap sebagai fenomena dan seterusnya
diklasifikasikan ke dalam kategori tertentu seperti gejala kejiwaan, sosial,
dan masyarakat. Sebagai misal perilaku yang berhubungan gejala kejiwaan yaitu fenomena rasa
bersalah atau kebencian (hate). Pemahaman kalsifikasi emosi ini dapat dilakukan
dengan mengadakan pendekatan psikologis.
Menurut
Semi (1993:79) bahwa pendekatan psikologis menekankan analisis terhadap karya
sastra dari segi intrinsik, khususnya pada penokohan atau perwatakannya.
Penekanan ini dipentingkan, sebab tokoh ceritalah yang banyak mengalami gejala
kejiwaan.
Secara
kategori, sastra berbeda dengan psikologi, sebab sebagaimana sudah kita pahami
sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, esai yang diklasifikasikan ke
dalam seni (art) sedang psikologi merujuk kepada studi ilmiah tentang perilaku
manusia dan proses mental. Meski berbeda, keduanya memiliki titik temu atau
kesamaan, yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber
kajian. Bicara tentang manusia, psikologi jelas terlibat erat, karena psikologi
mempelajari perilaku. Perilaku manusia tidak lepas dari aspek kehidupan yang
membungkusnya dan mewarnai perilakunya. Hal ini dinyatakan oleh Teeuw
(1991:62-64), “Konvensi sastra merupakan alat yang mengarahkan kemungkinan pemberian
makna yang sesuai pada sebuah karya sastra.”
Novel
atau cerpen sebagai bagian bentuk sastra, merupakan jagad realita di dalamnya
terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh).
Realita sosial, realita psikologis, realita religius merupakan terma-terma yang
sering kita dengar ketika seseorang menyoal novel sebagai realita kehidupan.
Secara spesifik realita psikologis sebagai misal, adalah kehadiran fenomena
kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama ketika merespons atau bereaksi
terhadap diri dan lingkungan. Sebagai contoh, penampakan gejala klasifikasi
emosi dapat penulis temui di dalam novel Lovintrique oleh Wetry Febrina.
Tokoh utama “Stella dan Shelly” adalah dua orang remaja, yang serupa tapi tak
sama, sama-sama cantik, pintar dan menarik.
Novel Lovintrique karangan
Wetry Febrina sangat menarik bila dikaji dengan pendekatan psikologis, khususnya
dalam analisis klasifikasi emosi. Novel ini mempunyai kelebihan di antaranya
ialah dua tokoh utama cerita ternyata mampu dan tegar menghadapi berbagai
fenomena hidup meskipun di dalamnya banyak terjadi konflik. Di lain pihak,
melalui tokoh cerita pengarang ingin menyampaikan pesan moral kepada pembaca
bahwa pentingnya orang tua memberikan pendidikan yang baik kepada anak. apa
yang diperbuat oleh sang tokoh cerita semata-mata akibat dari rasa frustrasi
dan kecewa yang berat dengan kedua orang tuanya.
Lovintrique
adalah novel perdana Wetry Febrina, anak sulung dari enam bersaudara yang lahir
tepat dengan hari valentine. Penggemar Dasboard Confessional dan Red Hot Chilli
Peppers ini sudah hobi menulis sejak SMP. Walau sejumlah cerpennya sudah pernah
nongol di beberapa majalah dan tabloid, ia tetap merasa belum bisa disebut
penulis sebelum novelnya terbit.
Novel
ini sangat menarik untuk di baca oleh remaja-remaja masa kini. Banyaknya intrik
dalam cerita menjadi kelebihan yang dimilki oleh novel
“Lovintrique”. Dan pelajaran dalam intrik novel ini bisa menjadi pelajaraan
bagi kita. Banyak pelajaran yang kita dapat ketika membaca novel karangan Wetry
Febrina. Orangtua adalah panutan bagi kita. Orangtua juga berperan penting
dalam pertumbuhan kita. Sehingga, orangtua seharusnya bisa menciptakan suasana
harmonis dalam keluarganya guna mencapai hidup rukun dan bahagia.
¯
LANDASAN
TEORI
Klasifikasi
Emosi
Kegembiraan, kemarahan, ketakutan,
dan kesedihan kerap kali dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primary
emotions). Situasi yang membangkitkan perasaan-perasaan tersebut sangat terkait
dengan tindakan yang ditimbulkannya dan mengakibatkan meningkat ketegangan
(Krech, 1974:471). Ciri khas yang menandai perasaan benci ialah timbulnya nafsu
atau keinginan untuk menghancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian.
1) Konsep
Rasa Bersalah
Bisa
disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi impuls dan standar moral (impuls
expression versus moral standards)
2) Rasa
Bersalah yang Dipendam
Dalam
kasus rasa bersalah,seseorang cenderung merasa bersalah dengan cara memendam
dalam dirinya sendiri, memeng ia biasanya bersikap baik, tetapi ia seorang yang
buruk.
3) Menghukum
diri sendiri
Perasaan
bersalah yang paling menggangu adalah sebagaimana terdapat dalam sikap
menghukum diri sendiri, si individu terlihat sebagai sumber dari sikap
bersalah.
4) Rasa
Malu
Timbulnya
rasa malu tanpa terkait rasa bersalah
5) Kesedihan
(Dukacita)
Berhubungan
dengan kehilangan sesuatu yang penting atau bernilai.
6) Kebencian
Berhubungan
erat dengan perasaan marah, cemburu dan iri hati.
7) Cinta
Perasaan
cinta bervariasi dalam beberapa bentuk; intensitas pengalaman pun memiliki
rentang dari yang terlembut sampai kepada yang amat mendalam; derajat sayang
yang paling tenang sampai pada gelora nafsu yang kasar dan agitatif.
¯
TUJUAN
1. Inggin
mengetahui psikologi sastra yang terdapat dalam sebuah karya sastra berbentuk
novel, ditinjau dari metode, teori dan contoh kasus.
2. Mendeskripsikan
secara lengkap bentuk klasifikasi emosi ditinjau dari novel Lovintrique.
3. Menggambarkan
kehidupan dalam novel ini melalui analisis klasifikasi emosi.
¯
MANFAAT
1. Manfaat
keilmuan dalam kasus ini bersifat confirmatory (membenarkan) bahwa
ada hubungan antara psikologi dan sastra sebagai teori yang dilontarkan oleh
pakar-pakar sastra.
2. Memperoleh
deskripsi bentuk klasifikasi emosi ditinjau dari segi novel
3. Menambah
wawasan penulis mengenai psikologi dan sastra yang tepat dalam sebuah proses
berbahasa pada novel
4. Meningkatkan
minat dan apresiasi bagi para pembelajar bahasa Indonesia
5. Menjadi
referensi bagi penulis selanjutnya yang akan melakukan penelitian pada novel
BAB II
PEMBAHASAN
¯
SINOPSIS
BAHAGIA
DALAM KEDAMAIAN HIDUP
Ø Judul
Novel : Lovintrique
Ø Nama
Pengarang : Wetry Febriana
Ø Kota
Terbit : Jl. Haji Montong No. 57 Ciganjur Jagakarsa
Jakarta
Selatan 12630
Tlep.
( Hunting ) : (0271) 788 83030; Ext.: 213, 214, 216
Faks.
(0271) 727 0996
Ø Jumlah
Halaman : viii+150 halaman
Kebahagiaan,
manusia yang hidup di dunia ini pasti ingin hidupnya bahagia. Tidak ada
seorangpun di dunia ini menginginkan hidup sengsara selama hidupnya. Oleh
karena itu demi mencapai hidup bahagia, kita harus berusaha dan terus berusaha
untuk menjalani hidup ini dengan sebaik mungkin. Dengan berusa semaksimal
kita pasti kita dapat merasakan bahagianya hidup ini.
Seperti
yang dikisahkan dalam novel karangan Wetry Febrina ini, dua anak manusia yang
bernama Stella dan Shally. Mereka teman sebangku tapi hubungan mereka mirip
kucing dan tikus. Mereka memiliki sifat yang berbeda jauh . Sama-sama cantik,
sama-sama pintar. Dan sama-sama ingin menjalani hidup yang bahagia. Stella,
seorang selebritis yang sedang naik daun, selalu sibuk dengan pekerjaannya yang
sebenarnya menjadi selebritis bukan keinginannya. Dia kehilangan masa
remajanya, karena kesibukannya. Stella yang lahir dari perselingkuhan mamanya.
Papa Stella meninggal, Stella di jadikan ladang emas oleh mamanya, Untuk
menghidupi keluarganya. Stella merasa tersiksa dengan ini semua.
Sedangkan
Shally, orang yang cerdas tapi jutek abis, dan tidak suka bersosialisasi,
ternyata memendam alasan khusus untuk selalu menjadi juara kelas. Ambisi Shally
untuk menjadi juara kelas bukan tanpa alasan. Shally depresi berat karena
kedua orang tuanya mau bercerai, mama Shally seorang pecandu narkoba, papa
Shally seorang selebritis. Setelah perselingkuhan papa Shally dengan seorang
selebritis pendatang baru mencuat ke permukaan, keluarga Shally semakin kacau.
Itu lah penyebabnya kenapa Shally begitu membenci Stella karena bagi Shally,
artis tak lebih dari wanita murahan.
Hubungan
Stella dan Shally semakin meruncing karena Jason, anak indo-aussie yang membuat
mereka jatuh hati. Jason lebih menyukai Stella daripada Shally, tetapi Stella
menolak Jason karena iba kepada Shally. Dia ingin Shally yang mendapatkan
Jason, terlebih lagi mama Shally koma karena mencoba membunuh diri karena tidak
tahan dengan kelakuan suaminya. Stella lebih memilih Robby lawan mainnya dalam
sebuah sinetron, dengan tujuan Jason berpaling dari Stella. Stella bertekat
untuk memperbaiki hubungannya dengan Shally, dengan mendonorkan darahnya untuk
mama Shally. Karena pengorbanan Stella, Shally pun luluh. Dan pada akhirnya
mereka bersahabat. Orangtua Shally rujuk, dan sekarang Stella tidak dituntut
untuk berkarya di dunia hiburan. Mama Stella lah yang kini menjadi selebritis.
Dan kebahagiaan menjadi milik mereka.
¯
UNSUR
INTRINSIK
v TEMA
Percintaan,
Perjuangan hidup untuk mengapai kebahagiaan.
v TOKOH
DAN PENOKOHAN
Penokohan pada novel ini
digambarkan oleh pengarang denagn sangat jelas. Melalui cirri-ciri fisik maupun
penggambaran sifat. Sifat tokoh yang digunakan adalah Protagonis dan
Tritagonis.
Ø Stella
Diatmojo : seorang gadis yang baik hati, pintar, berani
Ø Shally Budianta :
seorang gadis cerdas, galak, jutek, tidak suka bersosialisasi
Ø Mama
Stella (Diana) : seorang ibu yang ambisisus,
menjadikan anaknya ladang uang baginya
Ø Jason
Jennings : kakak tiri
dari Stella, pendendam
Ø Robby : seorang pria baik,
setia, tulus, rela berkorban, sangat mencintai Stella
Ø Marco
Budianta : Ayah dari Shally, seorang aktor yang terlibat
perselingkuhan, namun akhirnya ia bertanggung jawab atas perbuatannya.
v ALUR :
Maju
mundur (flash back) kaerena menceritakan kejadian sekarang kemudian
menceritakan kejadian masa yang telah terlewati, kemudian menceritakan kembali
kejadian sekarang.
v LATAR
Ø TEMPAT : Rumah, Kompleks Perunahan, Sekolah,
Perkotaan, Rumah sakit, tempat Syuting, Restoran Padang Sederhana Baru, Ruang
Guru, Ruang Sidang, Mall
Ø WAKTU : pagi, malam, 4.30am, 5.18 am, 6.45
pm, 10.45 am, 12.20 pm, 6.00 pm, 1.00 pm, 2.45 pm, 10.15 pm, 11.10 pm
Ø SUASANA : bahagia, sedih, marah, cemburu, panik, hujan,
mendung, murung,
v SUDUT
PANDANG
Novel
ini menggunakan Sudut pandang Stella dan Shally, yaitu sudut pandang orang
pertama, sudut pandang ini biasanya menggunakan kata ganti aku atau saya. Dalam
hal ini pengarang seakan-akan terlibat dalam cerita dan bertindak sebagai tokoh
cerita.
v GAYA
BAHASA
Bahasa
yang digunakan tidak terlalu berbelit-belit mengikuti perkembangan zaman
sekarang(modern) dan sesuai dengan kondisi remaj sekarang, sehingga, memudahkan
kita untuk memahami isi novel ini.
Ø Kata Ganti Orang
Kata-kata
ganti orang yang digunakan dalam Lovintrique adalah gue, loe, saya, aku,
kamu, ia, dia, kita.
o
Gue-lo digunakan antara tokoh-tokoh
remaja yang saling mengenal.
o
Saya digunakan dalam dialog antara
tokoh-tokoh remaja dalam situasi formal dan dialog antara tokoh remaja dengan
tokoh dewasa selain orang tua dalam situasi apa pun. Remaja menggunakan nama
sendiri sebagai kata ganti orang pertama tunggal bila berbicara dengan orang
tuanya.
o
Aku digunakan oleh tokoh utama bila
sedang merenung atau berbicara dalam hati pada dirinya sendiri.
o
Kamu digunakan oleh orang tua
terhadap anaknya.
o
Tidak ada konsistensi dalam
penggunaan dia dan ia, baik dalam dialog maupun narasi.
o
Kita digunakan sebagai kata ganti
orang pertama jamak dan kata ganti orang pertama sekaligus kedua jamak.
Pilihan
Kata
Kata-kata dalam dialog-dialog Lovintrique
juga banyak yang menggunakan kata-kata baku, termasuk dalam dialog antara
tokoh-tokoh remaja dalam situasi nonformal.
Kata-kata
tidak baku juga banayak dalam narasi ataupun dialog Lovintrique.
Terdapat
banyak ungkapan fatis, baik dalam dialog maupun narasi Lovintrique seperti deh,
tuh, nih, dong, lho, kan, dan sih.
Pengunaan
Bahasa Asing
Novel ini juga menggunakan kata-kata
dalam bahasa Inggris (hampir semuanya dicetak miring). Banyak istilah-istilah
lain yang menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris.
Simile
Simile merupakan perbandingan yang
bersifat eksplisit, maksudnya ialah bahwa ia lansung mengatakan sesuatu sama
dengan hal lain. Dalam hal ini bahasa yang membandingkan mengunakan kata-kata
perbandingan, terlihat dalam ketipan berikut:
Seorang bintang tanpa penggemar itu
ibarat malam tanpa bintang. Kegelapan dan kesepian tanpa cahaya (hlm 4 pargraf
dua)
Mataku menerawang, percayalah, meski di
luar aku kelihatan tegar, sebenarnya hatiku sangat gamang, seperti seseorang
yang sedang meniti tali di awang-awang. (hlm 111 paragraf lima)
Hiperbola
Adalah
gaya bahasa yang mangandung ungkapan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan
sesuatu hal Contohnya:
Seseorang
yang untuk pertama kalinya, bisa membuat jantungku berdetak ribut, hanya karena
melihat punggungnya dikelas. (hlm 33 prgraf pertama).
Pelipisku
berdenyut, Sialan! Cowok berkacamata itu membuatku hilang ingatan. Dan,
mendadak, soal-soal ulangan fisika di papan tulis jadi sangat sulit dipecahkan.
(hlm 34 prgraf satu).
v AMANAT
Ø Jangan
pernah dendam kepada seseorang. karena hal itu, selain dapat merugikan diri
sendiri, juga dapat merugikan orang lain.
Ø Kekuatan
cinta, dapat mengubah segalanya. Seperti mengubah sesuatu hal yang paling buruk
menjadi sesuatu yang dapat dimengerti dan disukai banyak orang.
Ø Dalam
menghadapi masalah, tidak boleh putus asa, apalagi melakukan sesuatu yang dapat
merugikan diri sendiri, atau orang lain
Ø Setiap
ada kemauan, pasti ada jalan.
Ø Pilihan
itu ada, namun tergantung siap atau tidak kita menanggung resiko dari pilihan
yang kita itu.
¯
ANALISIS
v Konsep
Rasa Bersalah
Ø Sekarang
aku sedikit menyesal telah menanyakan hal itu, karena wajah Jason mendadak
meberubah mendung dan murung. Sepertinya aku sudah membuatnya menginggat
sesuatu yang pahit. (Hlm 45 paragraf lima)
Saat Itu Stella sedang bercakap-cakap
dengan Jason. Stella bertanya tentang sesuatu yang bersifat pribadi, dan
Jasonpun tidak berkeberatan menjawabnya. Namun karena pertanyaan Stella
tersebut, Jason menceritakan kisah sedih yang dialami dirinya dan mamanya,
hingga membuat Jason kembali mengingat masa lalunya yang suram, hal itu
tergambar jelas di raut wajahnya. Disana Stella merasa sangat bersalah karena
sudah bertanya hal yang membuat Jason bersedih, seharusnya ia tidak bertanya
yang aneh-aneh. Akhirnya Stella memutuskan
untuk tidak bertanya lagi dan mengalihkan pada hal yang lain.
Stella menangkap situasi rasa bersalah
yang ia alami, ia sadar apa yang harus dilakukannya dan ia sungguh memahami
bahwa ia telah melanggar suatu keharusan
v Rasa
Bersalah yang dipendam
Ø “Stella, sejujurnya, bukan loe yang gue
benci, tapi orang-orang yang berfrofesi seperti lo...,”desis Shally pelan.
(hlm 104 paragraf tiga)
Setelah Shally
mengamati lebih seksama tentang Stella dari kejadian di Rumah Sakit. Maka,
Shally memiliki perasaan bersalah yang dipendam. Ternyata tidak semua artis
itu kotor dan munafik. Meskipun sebagian
benar tapi Stella tidak seperti itu. Namun disini Shally belum sepenuhnya
bersikap baik, karena setelah bercerita tentang masa kanak-kanaknya, Shally
kembali bersikap buruk kepada Stella, sehingga rasa bersalahnya terus dipendam.
Ø Aku
membeku. Seolah-olah seseorang baru saja menyiram kepalaku dengan seember es,
mendadak tubuhku mati rasa. “Maksud mama
apa, sih?”
AKU TAK MEMPERCAYAI TELINGAKU. “Dia apa? Masak sih?” tanyaku lemah.
Mendadak, aku digeleyuti berton-ton perasaan bersalah. (hal 131 paragraf lima
dan tujuh)
Ketika mendengar dari mamanya bahwa Stellalah
yang telah mendonorkan darah untuk mamanya. Shally merasa sangat bersalah, rasa
bersalahnya yang dahulu di pendam kini semakin menjadi. Rasa bersalah yang
dipendam membuatnya ingin menghukum diri sendiri.
Ø “Lalu kenapa Pa?” tanyaku terisak. “Kenapa Papa nggak pernah cerita?” Aku
menutup wajah dengan telapak tangan. Stella..., ya, Tuhan. (hlm 132 pargraf
pertama dan ketiga)
Shally sangat menyesal dengan segala hal
yang telah ia perbuat kepada Stella, selama ini Shally selalu berbuat Jahat
kepada Stella hanya karena profesi Stella sama dengan wanita simpanan papanya.
Akhirnya, demi menebus rasa bersalah yang dipendamnya selama ini Shally akan
berbicara di persidangan untuk membantu Stella.
v Menghukum
diri sendiri
Ø “Gue
frustasi,” keluh Robby seraya kembali mengisap lintingan ganjanya. “Orangtua
gue cerai. Bokap gue balik ke Belanda. Nyokap gue dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
Sekolah gue ancur karena gue bodoh, disleksia pula. (hlm 76 paragraf tiga)
Perasaan bersalah yang dimiliki Robby atas
kehidupannya, membuat Robby menghukum diri sendiri dengan terjun kedalam
hal-hal negatif. Ia merasa tidak berguna dan tidak memiliki cahaya dalam
hidupnya.
Ø Kalau
lo mau nerima gue, gue janji akan berubah. Gue akan berhenti dugem, berhenti
ngeganja, berhenti melakukan apapun yang elo nggak suka!" Katanya lagi.
Jika Stella menerima cinta Robby maka
Robby akan menghukum dirinya sendiri dengan tidak melakukan segala hal yang
Stella tidak suka. Robby rela tidak melakukan hal yang biasanya ia lakukan demi
cintanya kepada Stella.
v Rasa
Malu
Ø “Kamu
memeng benar-benar memalukan Stella,” Mama berdecak kesal. “Mama benar-benar
kehilangan muka di depan Marco! ( hlm 99 pargraf tiga)
Saat itu Mama Stella sangat malu di
depan Marco, mamanya merasa Stella sudah keterlaluan. Stella hanya sekedar
kolega di dunia seni peran tidak pantas
berkata hal yang menyinggung perasaan terhadap orang yang memiliki pengaruh
besar dalam dunia seni peran, begitu pikir mamanya
Ø “Ya ampun, Stella. Mama malu...! Mama malu,
nak!: teriak mamaku histeris. “Mau
ditaruh dimana mukaku ini, Mas hendar? Aduh, Stella....Mama bilang juga
apa?jauhi Robby! Eh malah kamu pake pacaran segala sama dia. Lihat sendiri,
kan, akibatnya?!” (hlm 125 paragraf dua dan empat)
Sebagai
Ibu sekaligus manager Stella, Diana sangat tidak tenang. Anaknya yang merupakan
artis terkenal diduga terlibat kasus narkoba. Berita dimana-mana membuat mama
Stella panik, ia merasa malu luar biasa, karena itu merupakan ancaman sosial
baginya, ia tidak mau pamor Stella menurun. Mama Stella memandang bahwa apa
yang telah terjadi pada anaknya akibat pengaruh pergaulan dengan anak yang kelas
sosialnya sama.
v Kesedihan
Ø “KITA BERCERAI SAJA!” samar-samar
kudengar papaku berteriak. Membuatku mendadak menggigil pilu. Segera saja aku
berlari menerjang kamar tidur orangtuaku, mengamuk!
Mengapa? AKU TAK KEBERATAN KALIAN
BERTENGKAR TIAP HARI, ASAL JANGAN BERCERAI! Tolong, Pa, Ma. Aku ngak mau jadi
anak yatim piatu!” teriakku setengah meratap, dengan pandangan kabur oleh air
mata. (hal 39, paragraf satu dua tiga)
Pada saat itu kedua orang tua Shally
sedang bertengkar, sebagai seorang anak tunggal Shally merasa sangat sedih, iaa
tidak mau kehilangan salah satu dari kedua orang tuanya. Shally memohon kepada
orang tuanya agar tidak bercerai, setiap hari bertengkar saja sudah membuatnya
sangat sedih, apalagi bercerai, itu akan menghancurkannya.
Ø Tetesan-tetesan
hangat menetes di bahuku saat tubuh mama berguncang menahan isak. (hlm 107
paragraf enam)
Shally
dan mamanya berpelukan dengan kesedihan yang sama mereka sangat berharap
papanya bisa seperti dahulu. Tapi kenyataan tidak bisa dibohongi dia sangat
sedih karena tidak bisa berkumpul seperti dahulu. Dia berharap papanya akan
kembali. Andai dia seperti Stella pasti bisa bertemu dengan papanya setiap hari.
Karena sangat sedih mama Shelly melampiaskannya pada ganja. Mereka berdua
berharap bisa bahagia bersama papanya sampai akhirnya mamanya menangis.
Ø Mataku
menerawang, percayalah, meski di luar aku kelihatan tegar, sebenarnya hatiku
sangat gamang, seperti seseorang yang sedang meniti tali di awang-awang. (hlm
111 paragraf lima)
Saat itu Shally sedang bersedih karena
kondisi mamanya memburuk namun ia tetap berusaha tegar dihadapan papanya.
Ia juga tak mau melihat papanya
bertambah sedih jika melihatnya juga tengah bersedih.
Ø “Ibu
saya sedang koma di rumah sakit.” Beliau kekurangan darah, “ucap Shally
terbata. “Rumah sakit tak punya lagi persediaan golongan darah AB resus
positif. Kalau tidak secepatnya ditransfusi, mama saya... mama saya...” (hlm
112 paragraf tiga)
Shally sangat berharap bisa mendapatkan
donor darah yang sama dengan mamanya. Maka dari itu dia menyiarkan permohonan
tersebut malalui media TV. Tapi kalimatnya terputus karena Shally terisak di
depan kamer, ia tidak dapat membendung rasa sedihnya sehingga sampai menangis
dan tidak melanjutkan kata-katanya.
Ø Aku
menopang kepalaku. Terlalu sedih untuk menangis. Aku leleh menangis. Aku lelah
diinterogasi. Aku lelah menghadapi semua ini. (hlm 124 pararaf tiga)
Stella sedang berada di kantor polisi.
Intensitas rasa sedih yang sangat mendalam membuat Stella tidak mampu untu
menangis lagi. Ia berat menerima kenyataan itu, karena ia harus bertanggung
jawab atas sesuatu yang tidak ia lakukan.
v Kebencian
Ø “AKU BENCI PAPA! PAPA YANG MEMBUNUH MAMA, KAN?”
(hlm
84 paragraf kedua)
Pada saat itu Shally sangat marah ketika
melihat mamanya nya tak berdaya, sementara papanya persis berada di depan sang
mama dengan berlumuran darah. Seketika Shally sangat benci papanya ia
berteriak-teriak pada papanya sebagai sasaran kebenciannya.
Ø Kalau
mama mati, aku akan bunuh diri. Shit! aku benci papa! Aku dendam pada papa!
Gelap di sekelilingku. Tubuhku mendadak
dingin dan beku. (hlm 85 paragraf pertama)
Shally berada diatas kebencian yang
membara, papanya menampar pipi Shally untuk pertama kalinya.
Ø Aku
mendengus jijik. “Kenapa sih, Papa selalu membela Stella? Seolah olah, di mata
Papa, Stella itu seperti malaikat saja. (hlm 129 prgraf lima)
Rasa benci Shally terhadap Stella sangat
jelas tergambar dalam ucapannya. Apalagi orang yang dia sukai Jason juga
menyukai Stella dan papanya pun membela Stella. Ia semakin cemburu kepada
Stella sehingga menjadi sangat benci kepada Stella
Ø “Dia
adik tiri saya. Anak wanita yang telah merampas ayah saya. Anak wanita yang
menyebabkan ibu saya menderita, kembali ke kampung halamannya di Australia,
lalu mati karena penyakit peneumonia. (hal 138 paragraf dua)
Jason sangat membenci Stella, karena
Stella adalah anak dari wanita yang telah merebut papanya.
Maka dari itu Jason sangat ingin mencelakai Stella, membuat hidup Stella
menderita dan hancur seperti apa yang pernah ia rasakan. Membalas dendam agar
dia merasa puas
Ø Watch
Out, Stella! Nerakamu belum berakhir! Selama aku hidup, nerakamu tak akan
pernah berakhir! (hal 147 paragraf dua)
Kebencian Jason tak kunjung hilang
walaupun ia sudah menerima hukuman atas perbuatannya pada Stella. Ia tidak akan
pernah merasa puas sebelum menghancurkannya.
v Cinta
Ø Aku
jatuh cinta? Terlalu dini untuk mengatakannya, karenacowok berkacamata minus
dan berambut ikal cokelat keemasan itu baru kemarin masuk kesekolah ini. (hal
11 paragraf dua)
Pada saat itu Stella sedang mengamati
murid baru di sekolahnya dan ia merasa tertarik kepada cowok tersebut, namun
dalam tahap ini cinta Stella pada murid
baru itu baru sebatas suka
Ø Aku
jatuh cinta?
Terlalu dini untuk mengatakannya, karena
cowok berwajah bule dan berkacamata minus itu baru kemarin masuk ke sekolah
ini.
Sesekali aku mencuri pandang ke arah
bangku ketiga dari depan itu. Gelenyer-gelenyer aneh mulai berdenyut di dadaku
setiap kali dia balas memendang (hal 33 paragraf lima dan enam)
Pada saat itu Shally sedang mengamati
murid baru di sekolahnya dan ia merasa tertarik kepada cowok tersebut, namun
dalam tahap ini cinta Shally pada murid
baru itu baru sebatas suka
Ø “Ngak
masalah, lo cinta ama gue atau ngak. Gue Cuma mau, lo ada di sisi gue, itu
saja! Save my life, Stella. Cuma lo
yang bisa, Please....” (hlm 83
pargraf lima)
Saat itu Robby sedang memohon kepada
Stella untuk menerima cintanya. Robby tidak peduli Stella akan balas
mencintainya atau tidak, yang paling penting Stella selalu ada mendampinggi Robby.
Ø Robby
berjongkok di sebelahku, menggenggam tanganku. “Stella, gue nggak mungkin bikin
lo celaka,” katanya lembut. “Lo tau kan gue cinta banget sama lo!?”
Robby berusaha meyakinkan Stella akan
cinta tulus yang dia miliki, dia tidak mungkin mencelakai gadis yang sangat di
cintainya itu. Dia berusaha membuat Stella merasa aman berada di sampingnya.
Robby pun tidak marah ketika Stella bertanya tentang hal yang tidak mungkin ia
lakukan.
BAB
III
PENUTUP
¯
SIMPULAN
Dari hasil analisis sederhana yang telah diuraikan
di atas, dapat di ambil kesimpulan, Novel Lovinrique cukup berhasil
menggambarkan kejiwaan anak-anak remaja saat ini. Dengan sifat-sifat khasnya
yang mencoba mencari pemahaman terhadap dunia. Tokoh Stella dan Shally
digambarkan memiliki karakter yang gigih. Berjuang sekuat tenaga dengan
berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Usaha Stella dan Shally
tidak mendapat jalan yang mudah. Banyak mendapat kendala. Juga banyak konflik
yang ikut menyertainya. Antara lain konflik dengan dirinya sendiri dan konflik
dengan tokoh lain. Tapi keduanya tidak putus asa dan terus melakukan
perjuangannya.
Pembaca yang pas untuk novel ini adalah
anak-anak remaja SMA dan ABG . Hal ini karena logika-logika dan pengetahuan
yang tergambar di dalam novel cukup sulit untuk dipahami oleh anak-anak di
bawah usia lima belas tahun, dan dikhawatirkan akan meniru.
Keberadaan klasifikasi emosi yang ditulis
berdasarkan hasil pengamatan analisis yang terdapat dalam novel sastra “Lovintrique”
ialah (1) Konsep Rasa Bersalah (2) Rasa Bersalah yang Dipendam (3) Rasa Malu
(4) Kesedihan (5) Kebencian (6) Cinta . Klasifikasi Emosi terdapat, pada dialog
dan pernyataan antara Stella, Shally dan tokoh lainnya.
¯
SARAN
Melalui analisis Novel sastra “Lovintrique”. Saya
berharap akan ada analisis-analisis psikosastra lainnya yang jauh lebih baik
dari saya, sehingga sayapun dapat belajar lebih banyak lagi. Dengan
menganalisis, menambah wawasan saya tentang psikologi dan sastra dalam satu
buku. Demikian yang dapat saya paparkan mengenai analisis psikosastra,
tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul novel ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya
analisis ini dan penulisan di kesempatan - kesempatan berikutnya. Semoga analisis
ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
¯
DAFTAR
PUSTAKA
Febrina
Wetry 2007. Lovintrique.
Jakarta: Media Kita
Ahmadi,
H.Abu. 2003. Psikologi Umum.
Jakarta: Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar