BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak
cara dan bentuk dalam mengeksplor karya-karya sastra seperti cerpen, novel,
pantun, drama (naskah), dan lain sebagainya ke dalam bentuk lain yang bersifat
eksperimental.Untuk bentuk kabaretisasi secara umum bukanlah hal baru. Konsep kabaretisasi cerpen dianggap masih
merupakan bagian dari bentuk kreatif eksplorasi kreasi sastra.
Menurut
Edgar Allan Poe, Jassin (1961:72), cerpen adalah sebuah cerita yang selesai
dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam.
Sebuah cerpen merupakan prosa fiksi dengan jumlah kata berkisar antara
750-10.000 kata.
Selanjutnya, istilah
"kabaret" berasal dari sebuah kata Perancis untuk
ruangan bar atau café, tempat lahirnya bentuk hiburan ini, sebagai suatu bentuk
yang lebih artistik daripada café-chantant. Kata ini berasal dari kata
dalam bahasa Belanda Tengah cabret, melalui bahas Perancis Utara Kuno camberette,
dari kata bahasa Latin Akhir camera. Pada intinya kata ini berarti
"ruangan kecil."
Kabaret merupakan bentuk ekslporasi seni drama pertunjukan yang
dikemas dengan seni kombinasi atau seni merangkai bunyi melalui pemanfaatan
teknologi audio, itu artinya sebelum memasuki tahapan kabaretisasi cerpen haruslah
terlebih dahulu berkreasi dalam tahap dramatisasi cerpen yakni
mentransformasikan cerpen ke dalam bentuk drama naskah, mulai dari
pengidentifikasian unsur-unsur intrinsiknya hingga penulisan ulang ke dalam
bentuk naskah drama.
Pada bab ini dan selanjutnya, penyusun
merasa tertarik dalam mengkreasikan sebuah cerpen dalam bentuk kabaret karena
nilai estetiknya tentu sangat tinggi dalam mengapresiasi dan mengkreasi suatu
karya sastra. Kabaretisasi cerpen merupakan bentuk kreasi ganda
yakni dari Cerpen menjadi drama, dari drama menjadi kabaret.
Dalam makalah
ini, penyaji sangaja memilih salah satu kumpulan cerpen Danarto yang berjudul
Godlob karena penyusun merasa pas jika cerpen Godlob tersebut dikabaretisasi
cerpen. Dengan begitu unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsiknya jika dikabaretkan
akan terasa lebih hidup dan indah.
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini yaitu:
1. Ingin mengetahui sejauh
mana kabaretisasi cerpen berpengaruh di Indonesia?
2. Ingin mengetahui sejauh
mana nilai estetiknyacerpen Godlob jika dikabaretisasikan?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Cerpen Indonesia
Arti
cerpen atau kepanjangan cerita pendek adalah sebuah karangan yang menceritakan
tentang suatu alur cerita yang memiliki tokoh cerita dan situasi cerita terbatas.
Sebuah cerpen biasanya akan langsung mengarah ke topik utama cerita karena
memang alur ceritanya Cuma sekali dan langsung tamat.
Menurut
Edgar Allan Poe, Jassin (1961:72), cerpen adalah sebuah cerita yang selesai
dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam.
Sebuah cerpen merupakan prosa fiksi dengan jumlah kata berkisar antara
750-10.000 kata.
Di manakah tempat cerpen Indonesia
dalam perjalanan kesusastraan negeri ini? Sebenarnya, sangat mungkin kehadiran
cerpen Indonesia mendahului penerbitan novel, drama, bahkan juga puisi jika
ukuran ciri-ciri kemodernan diterapkan di sana. Jejak puisi Indonesia modern
memang gampang kita telusuri lewat komparasi dengan pantun, syair, dan puisi
tradisional lainnya. Jejak itulah yang menempatkan puisi Indonesia modern
dianggap lebih jelas perjalanannya. Padahal, puisi Indonesia dengan ciri-ciri
modern, juga sudah banyak muncul di berbagai media massa. Belakangan, Muhammad
Yamin membuat sintesis pola pantun dan soneta. Dan itu terjadi pada dasawarsa
pertama abad ke-20.
Pada awalnya, konsep cerpen memang
tidak begitu jelas. Sketsa, fragmen, buah tutur, esai-esai yang mengangkat
kehidupan sehari-hari, cerita ringan dan lucu, cerita bersambung (feuilleton)
atau kisah tragedi percintaan yang diambil dari suatu peristiwa yang pernah
menjadi berita aktual, semua disebut cerita. Baru memasuki dasawarsa kedua abad
ke-20, cerita-cerita yang pendek itu diberi label cerita pendek, meski penyebutan
singkatan cerpen belum banyak digunakan. Ajip Rosidi yang menempatkan Muhammad
Kasim dan Soeman Hs sebagai perintis cerpen Indonesia, menelusuri jejak cerpen
dari tradisi sastra lisan penglipur lara dengan tokoh-tokoh si Kabayan, Lebai
Malang, dan Jaka Dolog.
Pandangan itu niscaya perlu
didiskusikan lagi. Masalahnya, Ajip hanya menyimak Pandji Poestaka (1923) yang
banyak memuat cerita-cerita lucu Muhammad Kasim yang belakangan diterbitkan
sebagai kumpulan cerita lucu (Teman Duduk, 1936). Padahal, sebelum terbit
Pandji Poestaka, sejumlah suratkabar atau majalah –termasuk Sri Poestaka (1918),
banyak pula yang memuat cerita-cerita ringan seperti itu, meski tak semuanya
berupa cerita lucu. Oleh karena itu, penelusuran pada jejak cerpen Indonesia
yang lebih awal, perlu memperhatikan kehadiran koran dan majalah yang terbit
mendahului Pandji Poestaka.
Menjelang berakhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20, ada sekitar 60-an surat kabar dan majalah berbahasa Melayu
yang terbit. Sebut saja beberapa di antaranya: Biang-lala (Batavia, 1868,
dwimingguan), Sahabat Baik (Betawi, 1891, terbit tak teratur), Pewarta Prijaji
(Semarang, 1900, bulanan), Bintang Hindia (Bandung, 1903, dwimingguan) atau
Bok-Tok (Surabaya, 1913, mingguan). Beberapa di antaranya, memuat cerita
bersambung (feuilleton), cerpen, dan puisi. Majalah Sahabat Baik, misalnya,
mencantumkan subjudulnya seperti ini: “Hikayat, tjerita, dongeng, sjair,
pantoen, dan lain-lain daripada itu.” Surat kabar Selompret Melajoe (terbit di
Semarang, 1860–1910) malah sering memuat surat-surat pembacanya dalam bentuk
puisi. Cara demikian, ternyata juga kita jumpai dalam majalah Poetri Hindia
(terbit di Bogor, 1908) dan beberapa media yang terbit masa itu.
Dilihat dari struktur ceritanya,
cerpen-cerpen yang dimuat di berbagai media massa saat itu, tak diragukan lagi
sudah merupakan karya modern. Sebagian besar membicarakan tema sosial; masalah
pernyaian, tragedi kehidupan rumah tangga, percintaan dan peristiwa yang pernah
menjadi berita aktual. Dalam hal yang disebut terakhir itulah, media massa
sengaja memuat cerita pendek sebagai salah satu nilai jual media itu. Pasalnya,
cerita seperti itu justru paling banyak mendapat sambutan masyarakat. Ini dapat
dipahami mengingat berita umumnya disajikan lebih ringkas dan sering tidak
mengungkapkan latar belakang terjadinya peristiwa itu. Cerpen justru memenuhi
tuntutan itu. Oleh karena itu, di bawah judul cerpen atau cerita bersambung
yang dimuat media massa, lazim tertulis keterangan “Satu cerita yang sungguh
sudah terjadi di Jawa” yang mencantelkan cerita itu dengan peristiwa yang
pernah menjadi berita media bersangkutan.
Dengan dasar pemikiran tersebut di
atas, maka sejarah sastra Indonesia, terutama yang menyangkut kelahiran dan
perjalanan cerpen Indonesia, mutlak ditinjau kembali. Banyak fakta yang
mengecoh, dan lebih banyak lagi yang ditenggelamkan, di dalamnya termasuk
keberadaan cerpen dan peran media massa. Terlalu lama membiarkan persoalan ini
tanpa usaha perbaikan, sama halnya dengan ikut membiarkan sejarah sastra
Indonesia tetap berada dalam kondisi carut-marut.
Kebangkitan cerpen di Indonesia
ditandai oleh Balai Pustaka yang menerbitkan Teman Duduk karya M. Kasim. Selanjutnya Suman Hs dengan Kawan Bergelut-nya diterbitkan pada
tahun 1938.Sejak tahun 1946 cerpen mulai hidup di Indonesia. Bersama waktu dan
perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia nilai cerpen pun mulai berubah.
Dahulu bercorak cerita rakyat, tahun 1940-an mulai bergeser pada kehidupan
rakyat sehari-hari. Contohnya karya Hamka yang berjudul Di Dalam Lembah Kehidupan diterbitkan pada tahun 1940, warna
kehidupan rakyat sehari-hari sudah terlihat, walaupun Hamka mengerjakannya
secara sentimental.
Cerpen Indonesia mengalami masa
subur sekitar tahun 1950-an setelah era perang kemerdekaan. Buku-buku kumpulan
cerpen menandainya, di antaranya kumpulan cerpen Subuh karya Pramoedya Ananta Toer (BP:1951); Yang Terempas dan Terkandas karya Rusman Sutiasumarga (BP:1951); Manusia dan Tanahnya karya Aoh
KArtahadimaja (BP:1952); Terang Bulan
Terang di Kali karya S.M. Ardan (Gunung Agung: 1955) dan lain-lain.
Dalam esai Mencari Tradisi Cerpen Indonesia yang ditulis tahun 1975, Jakob
Sumardjo menyatakan, "Tradisi penulisan cerpen mencapai masa suburnya pada
dekade 50-an yang merupakan zaman emas produksi cerita pendek dalam sejarah
sastra Indonesia." Pada masa itulah muncul nama-nama seperti Riyono
Pratikto, Subagyo Sastrowardoyo, Sukanto SA, Nh Dini, Bokor Hutasuhut, Mahbud
Djunaedi, AA Navis, dan sederet nama lain yang, menurut sastrawan dan kritikus
sastra Ajip Rosidi dalam esai Pertumbuhan
dan Perkembangan Cerpen Indonesia, disebut sebagai sastrawan yang
"pertama-tama dan terutama dikenal sebagai penulis cerpen". Ada
situasi yang relatif sama di antara kedua periode itu: (1) cerpen menjadi pilihan
utama pengucapan literer, (2) tingkat produktivitas cerpen yang melimpah, (3)
pertumbuhannya yang didukung oleh media di luar buku; pada yang pertama ialah
majalah dan pada yang kedua ialah koran, (4) pencapaian estetis cerpen yang
makin menempatkan cerpen sebagai genre sastra yang kian diperhitungkan.
Namun, buku yang memuat
cerpen-cerpen yang pernah terbit di Kompas sepanjang kurun 1980-1990-an ini
setidaknya bisa menjadi etalase untuk melihat perkembangan dan pencapaian
estetis cerpen-cerpen pada periode itu. Apalagi, seperti pernah dinyatakan oleh
Nirwan Dewanto, pada periode itu Kompas memang memiliki kedudukan tersendiri:
menjadi media yang cukup signifikan bila kita hendak memperbincangkan
pertumbuhan cerpen ketika media yang mengkhususkan diri pada sastra mulai
meredup pamornya. Dan, yang pada periode selanjutnya menjadi para penulis yang
banyak memberi pengaruh pertumbuhan cerpen kita, seperti Seno Gumira Ajidarma,
Putu Wijaya, dan juga Radhar Panca Dahana.
2.2 Pengertian Kabaret
Berdasarkan asal-muasalnya kabaret adalah
sebuah pertunjukan atau pementasan seni yang berasal dari Dunia Barat di mana
biasanya ada hiburan berupa musik, komedi dan seringkali sandiwara atau tari-tarian. Perbedaan utama antara
kabaret dengan pertunjukan lainnya adalah tempat pertunjukannya— restoran atau kelab malam dengan
sebuah panggung pertunjukan dan penontonnya yang duduk mengelilingi meja-meja
(seringkali sambil makan atau minum) dan menyaksikan pertunjukannya. Tempatnya
sendiri seringkali juga disebut "kabaret". Pada peralihan abad ke-20,
terjadi perubahan besar dalam budaya kabaret. Para penarinya termasuk Josephine Baker dan
penari waria Brasil João Francisco dos
Santos (alias Madame Satã). Pertunjukan-pertunjukan kabaret dapat
beraneka ragam dari satire politik hingga hiburan ringan,
masing-masing diperkenalkan oleh seorang master of ceremonies (MC),
atau pembawa acara.
Istilah
"kabaret" berasal dari sebuah kata Perancis untuk
ruangan bar atau café, tempat lahirnya bentuk hiburan ini, sebagai suatu bentuk
yang lebih artistik daripada café-chantant. Kata ini berasal dari kata
dalam bahasa Belanda Tengah cabret, melalui bahas Perancis Utara Kuno camberette,
dari kata bahasa Latin Akhir camera. Pada intinya kata ini berarti
"ruangan kecil."
Kabaret
juga merujuk ke bordil gaya Mediterania — bar dengan meja-meja dan wanita-wanita
yang berbaur serta mengibur para kliennya. Secara tradisional, tempat-tempat
ini juga dapat menampilkan beberapa bentuk hiburan: seringkali dengan penyanyi
dan penari — tergantung tempatnya masing-masing, sifatnya dapat liar dan kasar.
Kabaret yang lebih canggih dan berkelaslah yang akhirnya melahirkan bentuk
tempat hiburan dan seni pertunjukan yang menjadi pokok artikel ini
Kabaret
merupakan sebuah pementasan yang dilakukan diatas panggung yang dalam
pertunjukan tersebuh terdapat beberapa unsur seni yang lain nya seperti seni
peran, seni musik. Kabaret seni secara garis besar merupakan sebuah seni peran
namun dilakukan secara lipsing atau secara awam dialog dan lain lain telah
direkam pada sebuah media seperti kaset atau disk (CD).
Secara
global definisi kabaret yang kami jalani sangat berbeda jauh dengan definisi
kabaret yang ada di wikipedia, kabaret kami merupakan kabaret asli indonesia
atas pemikiran seniman-seniman kota kembang bandung yang berkreasi untuk
membuat seni pertunjukan yang bisa masuk ke segala kalangan, baik muda, tua,
bapak-bapak, ibu-ibu dll.
2.3 Kontroversi Kabaret Vs Teater
Perlu digarisbawahi belakangan ini sering terdengar
isu tidak sedap mengenai Kabaret Vs Teater khususnya di kota Bandung yang
merupakan awal perkembangan perkabaretan Indonesia. Persoalan ini sedikit
membuat risih para pelaku seni drama karena sejatinya memang tidak ada yang
perlu di ributkan dan di persoalkan. Teater adalah seni begitu pula dengan
Kabaret jadi apa yang harus di permasalahkan?
Jika melihat titik balik mengenai Sejarah Teater
Indonesia, disitu menyinggung mengenai Teater Kontemporer Indonesia yang isinya
antara lain yaitu "Teater Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan
yang sangat membanggakan. Sejak munculnya eksponen 70 dalam seni teater,
kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya khas masing-masing
seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak tahun 80- an sampai saat ini.
Konsep dan gaya baru saling bermunculan. Meksipun seni teater konvensional
tidak pernah mati tetapi teater eksperimental terus juga tumbuh. Semangat
kolaboratif yang terkandung dalam seni teater dimanfaatkan secara optimal
dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yang lain. Dengan demikian,
wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas dan kemungkinan bentuk garap
semakin banyak.
Jelas disitu di katakan bahwa banyak konsep dan gaya
baru yang bermunculan sehingga semakin tumbuh teater eksperimental dangan
menggandeng beragam unsur pertunjukan yang lain.
Pada
awal kabaret muncul di indonesia banyak perdebatan antaran seniman teater murni
dan seniman kabaret, seniman dari teater murni berdalih bahwa kabaret bukan
bagian dari teater dengan alasan seni peran yang ditampilkan tidak natural tapi
dibuat-buat. seiring berjalannya waktu akhirnya sudah jelas bahwa kabaret
merupakan bagian dari teater yang membedakan hanyalah sebagian dialog yang ada
dalam sebuah cerita kabaret digantikan dengan potongan-potongan lagu yang
mengganbarkan kejadian saat itu.
Jadi Kabaret salah satu bentuk pencitraan dari konsep
dan gaya baru dengan menggandeng unsur pertunjukan yang lain. Setiap orang yang murni mempelajari Teater
pasti mampu untuk bermain Kabaret tapi setiap orang yang murni mempelajari
Kabaret belum tentu mampu bermain Teater.Hal ini terbukti karena
dasar-dasar Kabaret adalah dasar-dasar teater, jadi sebenarnya pernyataan yang
menyatakan bahwa kabaret dan teater adalah pesaing dalam bidang seni hanyalah
kontroversi ranah prestise saja, karena memang dalam seni tidak ada kata
"rival" atau "musuh". Dalam seni yang ada hanyalah berlomba
mengasah kreatifitas dan membuat inovasi-inovasi baru di bidang seni serta
mengedepankan sportifitas.
2.4 Kabaretisasi Cerpen
Banyak
cara dan bentuk dalam mengeksplor karya-karya sastra seperti cerpen, novel,
pantun, drama (naskah), dan lain sebagainya ke dalam bentuk lain yang bersifat
eksperimental. Untuk bentuk kabaretisasi secara umum bukanlah hal baru, karena
banyak para pelaku seni muda khusunya di Jawa barat yang mengkreasikan film
layar lebar, Novel dan cerpen dalam bentuk kabaret maupun drama musikal.
Sehinggakonsep kabaretisasi cerpen dianggap masih merupakan bagian dari bentuk
kreatif eksplorasi kreasi sastra. Terlepas dari besar kecilnya sajian
nilai-nilai sastra di dalamnya yang jelas bentuk ini tidak terlalu melenceng
jauh dari ranah sastra, karena jika meninjau kembali esensi dari kreasi sastra,
kita semua sepakat bahwa dari kata “kreasi” kita akan menemukan suatu hal yang
berbeda, unik, memiliki nilai lebih, bahkan bisa jadi ada bentuk baru dari
objek yang dikreasikan.
Seperti
yang sudah diulas sebelumnya bahwakabaret merupakan bentuk ekslporasi seni drama pertunjukan yang dikemas dengan seni
kombinasi atau seni merangkai bunyi melalui pemanfaatan teknologi audio, itu
artinya sebelum memasuki tahapan kabaretisasi cerpen haruslah terlebih dahulu
berkreasi dalam tahap dramatisasi cerpen yakni mentransformasikan cerpen ke
dalam bentuk drama naskah, mulai dari pengidentifikasian unsur-unsur
intrinsiknya hingga penulisan ulang ke dalam bentuk naskah drama. Sebenarnya
sah-sah saja jika mengeksplor bentuk kabaretisasi cerpen tanpa harus melewati
tahap dramatisasi cerpen, namun yang perlu dipertimbangkan adalah ruang dasar
pembentukan kabaret adalah drama, sehingga akan lebih etis dan estetis jika
kedua tahap itu dilakukan secara berkesinambungan. Dengan kata lain bentuk dari
kabaretisasi cerpen merupakan bentuk kreasi ganda yakni dari Cerpen menjadi
drama, dari drama menjadi kabaret.
Berikut adalah langkah-langkah dari bentuk
kabaretisasi cerpen :
1. Memilih
cerpen yang akan dikreasikan, kita ambil contoh cerpenGodlob karya Danarto
2. Mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik
-
Alur : Maju atau linear
-
Tokoh :
lelaki muda, lelaki tua, perempuan, dan penduduk.
-
Penokohan: lelaki muda (penurut terbukti ketika
dia disuruh untuk ikut berperang lelaki muda itu menurut meski ia harus
mengorbankan jiwa dan raganya, tawakal terbukti ketika ia sudah sangat lemah
tak berdaya menunggu seseorang datang menolongnya di medan perang) dan lelaki
tua (penuh ambisi terbukti ketika ia berambisi agar anaknya menjadi seorang
pahlawan, emosional yaitu terbuki ketika ia menemukan anaknya masih hidup di
medan perang lalu ia membunuh anaknya karena ia ingin anaknya menjadi seorang
pahlawan), perempuan (penyayang yaitu pendendam yaitu ketika ia mengetahui
anaknya mati dibunuh ayahnya bukan mati karena peperangan, perempuan itu marah
dan ia memnembakkan pistol kepada lelaki tua untuk membalaskan dendamnya),
-
Konflik
-
Setting tempat waktu dan susana: di medan
perang, di
-
Amanat
-
Gaya Bahasa
3. Menyusun
kerangka prolog, dialog dan epilog cerita
4. Menyusun
menjadi naskah drama
5. Menandai
ilustrasi bunyi yang sesuai hasil identifikasi unsur intrinsik.
6. Mengidentifikasi
dialog antar tokoh untuk klasifikasi pengisi suara (dubbing).
7. Menyusun
rangkaian dan kombinasi bunyi (proses mixing)
8. Proses editing dan penyelarasan akhir
9. Kabaretisasi
cerpen selesai